(23) Lit

13.9K 1.9K 183
                                    


Jangan happy dulu.

Nggak nyampe semenit sejak Raven mengakui perasaannya, kalimat ini meluncur juga dari mulutnya. "But please, jangan kasih tahu Nadia."

"Kenapa?"

"It's complicated." Raven lalu menggenggam tanganku sepanjang penerbangan hingga mendarat kembali di Budiarto.

Kuakui, aku bahagia mendengar pengakuan itu. Kuakui pula, aku nggak menyangka kata-kata itu bisa keluar dari mulut seorang Raven. Aku sempat berharap pesawat kami jatuh di Gunung Salak lalu aku terbangun dari mimpi indah.

Yang kurasakan kepada Raven, berbeda dari yang kurasakan saat kali pertama kami berjumpa. Kamu juga tahu seheboh apa libidoku digoyahkan oleh jantannya sosok Raven. Aromanya yang memabukkan, siluet tubuhnya yang seksi, sosok dirinya yang membuat rahimku terasa nano-nano. Yang kuinginkan dulu adalah menyentuhnya dan menikmatinya. Sama seperti semua cowok ganteng yang kulihat di TV atau drama Korea.

Kehadirannya membuat tubuhku menggelora, karena fisiknya ada dalam ruangan yang sama denganku. Malam itu, meski aku tidak berada dalam ruangan yang sama, Raven tetap berhasil membuatku menggelora. Dan perasaan ini begitu aneh sampai-sampai aku tidak bisa tidur.

Perasaan ini membuatku bahagia. Membuat perutku tergelitik dan jantungku berdebar-debar. Terakhir kali aku merasakan hal yang sama adalah ketika aku memikirkan ....

...

Ah, tidak.

Tak perlu kusebutkan.

Aku belum tidur di apartemen malam itu. Semua barangku masih ada di rumah. Jadi, Raven mengantarku hingga ke depan Polsek Kalideres, menyeberang ke Pasar Hipli, lalu aku berjalan kaki dari sana. Pagi-pagi sekali aku sudah mengemas semua bajuku dan memasukkan lagi microwave Panasonic dengan Panasonic inverter ke dalam kardus. Aku sedang menunggu jemputan.

"Di mana sih Neng rumah dinas kamu tuh?" tanya ibuku sambil mengipas-ngipasi wajahnya dengan kipas bambu untuk nasi. "Emang perlu kamu bawa mikrowife-nya?"

"Lagian di sini juga listriknya nggak kuat, Bu."

"Ya kan entar si Bapak bisa nyolong listrik yang rumah depan. Gitu-gitu juga bapak kamu tuh jago masang kabel di tiang listrik, supaya kita kebagian listriknya."

Aku menggeleng. "Kalau Ibu butuh, aku beli lagi entar."

"Ck! Kalau kamu punya duit mah, mendingan kamu beli AC, Neng. Dua aja, cukup. Satu di sini. Satu di kamar."

"Di depan juga, di luar," kata Raden Setyo, nimbrung sambil garuk-garuk keteknya. "Jadi kalau anak-anak nongkrong di teras, bisa kena AC juga."

"Nah, tuh. Tiga," kata Ibu.

"Doain ya bisa dapat uangnya," kataku, menghela napas sambil memainkan lagi ponsel.

Tentu saja aku bisa membeli 3 unit AC sekarang, tetapi kurasa itu bukan solusi yang tepat. Kalau satu microwave saja kami harus memadamkan semua barang elektronik, apa kabarnya tiga AC menyala? Lagi pula, ini kan rumah ngontrak, bukan milik sendiri. Enak saja kupasang AC lalu suatu hari aku menikah dengan Raven dan semua orang pindah dari sini, AC-nya masih tertempel. Enak di kontraktor berikutnya, dong. (Bukan bermaksud halu menikah dengan Raven, ya. Contoh saja.)

Seluruh keluargaku sudah ku-briefing bahwa untuk beberapa waktu aku akan tinggal di rumah dinas sekitaran Kuningan. Mereka nggak ada yang curiga bahwa nggak mungkin pramuniaga junior yang bahkan belum bekerja empat bulan bisa mendapat rumah dinas. Termasuk Raden Ningsih yang ranking 1. Yang ada malah ibuku mendesak Raden Ningsih untuk bekerja di High End juga.

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang