Jet pribadi itu persis seperti jet pribadi yang kulihat di film-film. Aku hanya terkejut ternyata pesawatnya yang paling kecil di antara jejeran pesawat yang sedang parkir ini. Namun ketika aku masuk ke dalam kabin, ya, inilah isi pesawat yang kubayangkan.
Raven menginterupsi sesi intimku bersama Pak Suseno dengan langsung membahas pekerjaan.
"Kabar baik, Pak?" sapanya sambil mengajak bersalaman. "Tahu gitu saya kirim iring-iringan polisi tadi."
"Ah, nggak usah," jawab Pak Suseno sambil mengusap-usap punggungku. "Saya sih nyantai aja. Kan, kita mau karaokean toh sama Nak Monika ini?"
"Next time saya usahakan Bapak dijemput iring-iringan polisi. Oh iya, Monika harus menyiapkan dokumen legal yang saya bahas di email siang tadi. Jadi mungkin sambil berjalan ke pesawat kita bisa bahas ground breaking pertama soal bangunan hub yang saya maksud. Omong-omong soal ground break ...."
Terus saja Raven mencerocos soal pekerjaannya yang tak kumengerti. Dia bahkan melepaskan rangkulan Pak Suseno dari pinggangku, lalu mengajaknya berjalan duluan menuju pesawat. Aku hanya menghela napas sambil mengumpulkan tas yang kuletakkan di meja. Martin menghampiriku dan menyerahkan map lain yang agak tebal.
"Apa ini?"
"Dokumen legal yang dibahas di email siang tadi," katanya.
"Oh." Lalu, aku kebingungan harus ngapain. Mungkin wajahku kentara banget kayak orang blah bloh, belum lagi aku memutar-mutar posisi map seolah-olah harus ada posisi yang benar.
Boon menghampiriku dan menyenggolku. Dia menyelipkan map infografik Pak Suseno ke balik jasnya. "Pegang aja. Nanti kalau Bos Raven minta, kasih."
"O .. oke."
Oh iya. Aku kan pura-puranya sekretaris di sini.
Aku dan Boon berjalan di belakang Martin dan satu bapak temannya Pak Suseno ini. Raven masih berbincang-bincang dengan Pak Suseno di depan, tiba lebih awal di depan pesawat. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Kukira seharusnya sekretaris ada di belakang bosnya, mencatat yang penting-penting seperti yang kulakukan di kapal tempo hari.
"Gimana kemampuan menggodaku?" bisikku sambil menyikut Boon.
"Ambyar," katanya, sambil menggelengkan kepala.
Kutonjok lengan Boon yang besar. "Jelek maksudnya?"
"Lebay," jawabnya. Boon terkekeh sambil melirik ke arahku, lalu melemparkan pandangan ke arah lain. "Yah, yang pasti sih, sekarang saya jadi harus ke Karimun Jawa, deh. Nggak bisa leha-leha di Jakarta."
"Oh, jadi nggak ikhlas nih kamu ikut sama aku? Ya udah, sana pergi!"
"Boleh nih saya nggak ikut?"
"Ih, jangan!" kataku buru-buru sambil menarik tangan Boon karena dia tiba-tiba berhenti berjalan. "Kamu harus ikut. Wajib! Udah ada perintah dari Bos Raven! Ayo!"
Boon tergelak kecil. Namun dia ikut juga.
Ketika kami masuk, seorang pramugari menyapa kami di pintu. "Selamat datang Bu Monika. Selamat datang Pak Boon," sapanya. Ramah sekali karena tahu nama kami segala.
Aku tahu itu pramugari karena aku tinggal di Kalideres dan di sana banyak sekali kosan berisi pramugari berbagai maskapai. Namun bertemu langsung pramugari di habitatnya rasanya lain. Dekat rumahku, ada pramugari Garuda ngekos dan sering berangkat pukul 4 pagi dijemput oleh mobil sedan Garuda. Dia biasa saja. Hanya perempuan dengan seragam biru, rambut disanggul, dan menarik koper entah untuk dibawa ke mana (karena sorenya ketika dia pulang koper itu dibawa lagi). Namun kalau pramugarinya di dalam pesawat kesannya seperti aku sedang berada di ... ngng ...
![](https://img.wattpad.com/cover/220705221-288-k838188.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...