(17) Beautiful

16.3K 1.9K 160
                                    


Menurutku berlebihan sih sikap Raven terhadapku dan Boon. Memangnya dia siapa mengatur interaksiku dengan orang yang kumau? Mentang-mentang banyak duit, jadinya dia merasa dirinya tuhan? Emang beda tipis antara jadi orang kaya sama jadi orang durhaka. Yang jadi istrinya nanti harus ekstra sabar. Boleh menikmati kekayaan Raven, belanja baju tiap hari di High End pake private financing, tapi nggak boleh ngobrol sama sopir pribadi.

Sayangnya aku nggak dalam posisi sanggup menyerang balik kata-kata Raven. Aku hanya orang miskin biasa yang menurut saja ketika si orang kaya banyak maunya. Anggap aja Indonesia belum merdeka, dan aku sedang kerja rodi. Supaya aku nggak merasa kasihan-kasihan amat sama diriku sendiri, karena aku punya teman-teman dari masa penjajahan yang juga nggak punya suara gara-gara dijajah orang kaya.

Prosesi bangunnya Pak Suseno berjalan lancar. Dia menemukan dirinya telanjang, aku setengah telanjang, dan dalam kepalanya yakin kami sudah berhubungan seks. Sambil pura-pura kelelahan, aku pamit pergi ke kamar seraya mengecup kening Pak Suseno dan mengenakan lagi kain tropisku.

Tentu saja Pak Suseno meminta seks ulang, karena dia nggak ingat semua adegan seks yang kami lakukan. Dengan genit aku bilang, "Buat next time dong, Om. Masa aku digenjot terus seharian ini, sih? Emang yakin Omnya kuat?"

Pak Suseno garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir. "Iya sih, Dek Monika. Takutnya Om yang letoy kalau harus dua kali."

Ya sudah. Aku berhasil lolos dari Pak Suseno hari itu tanpa perlu membuka selangkangan. Kami masih bertemu saat makan malam, menikmati karaoke betulan dari restoran, sambil membahas harga minyak dunia di Venezuela.

Aku kembali ke kamar lebih dulu karena ingin berendam di bathtub. Ketika aku selesai berendam, Raven sudah kembali ke kamar. Dia mondar-mandir di depan tempat tidur sambil mengetuk-ngetukkan ponselnya ke dagu. Raven tampak cemas menunggu sesuatu.

Kuputuskan untuk mengenakan celana dalam dan atasan sleeveless Raven malam itu. Aku lalu melompat ke atas tempat tidur sambil memandangi Raven bolak-balik.

"Apa?" tanya Raven, berhenti dan menatapku. "Kenapa kamu ngelihatin?"

Aku mengangkat bahu. "Gapapa. Kagum aja lantainya jadi rapi, ada setrikaan bolak-balik dari tadi."

"Saya lagi nunggu kabar dari Martin. Dia lagi approach Handi sekarang. Mereka bertiga sama Suseno sedang merokok di restoran ngebicarain satu dokumen yang perlu ditandatangan."

"Kenapa Bos nggak ikut ke situ?"

Raven menggelengkan kepala. "Nggak bisa. Nanti kami jadi banyak basa-basi. Kalau Martin yang turun, Suseno sama Handi akan mengira ini pembicaraan bisnis. Kalau saya ada di situ, obrolan jadi ngalor-ngidul ke kerja sama mereka sama ayah saya zaman dulu." Dengan gelisah Raven melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur, lalu menyusupkan jemarinya ke sela-sela rambut.

"Semoga hari ini aku nggak ngacauin segalanya," tuturku sambil tersenyum kecil.

"Monika, you did a great job today."

"Terus kenapa aku nggak boleh temenan sama Boon?"

"Ck!" Raven memutar kepalanya dengan kesal. "Monika, I'm really sorry about that. Saya cuma ... cuma ... ah! Saya lagi nggak pengin ada yang menggagalkan rencana ini. Semuanya berjalan begitu sempurna."

"Aku sama Boon kan cuma ngobrol doang."

Raven tampak intens. Urat-urat di pelipisnya bermunculan, seolah-olah ada banyak sekali hal yang tertimbun dalam diri Raven dan nggak bisa keluar.

Karena kasihan, kuputuskan untuk bangkit dan mengajak Raven duduk di tepi tempat tidur. "Aku bukan orang berpendidikan tinggi," mulaiku. "Tapi aku belajar banyak hal termasuk mijitin orang yang lagi stres."

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang