Alhamdulillah, Yuni mau memaafkanku besok paginya. Aku juga memaafkannya karena telah mempertemukanku dengan Nadia—yang nggak sepenuhnya salah Yuni, sih karena Yuni di bawah ancaman. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama kalau taruhannya pekerjaanku dan keluargaku. Dia meneleponku pagi-pagi sekali untuk menceritakan semuanya.
Aku merasa lebih baik setelahnya.
"Dia tuh cewek yang berbahaya," kata Yuni pada akhir percakapan telepon.
"Kamu ke mana aja? Rumahku udah dibakar, lho."
"Please, elo hati-hati, ya. Waktu gue diculik ke PIK, gue dikerubungin sama bodyguard-nya yang macho-macho itu. Serem banget! Yang namanya Andre ganteng, sih. Tapi sayang kerja buat Nadia."
"Kamu kenapa bisa tahu namanya Andre?"
"Elo kayak yang nggak tahu gue aja," desah Yuni. "Ya gue tukaran nomor telepon lah ama beberapa dari mereka. Si Jaka yang kepalanya botak itu baru cerai dari istrinya."
Telepon itu disusul oleh telepon dari Raven yang tiba-tiba mengajakku menginap di sebuah hotel malam ini. Sekalian saja kuceritakan kejadian yang kualami di PIK Avenue. Raven mengumpat karena merasa kecolongan. Dia juga agak ngambek karena aku berani-beraninya keluar di tengah situasi seperti ini. Aku meminta maaf berkali-kali dan cowok itu—anehnya—memaafkanku.
Kan, aku nakal ya Sahabat. Kenapa Raven malah bilang, "It's alright. Just don't do that again." Kemudian Raven menghela napas seolah-olah lelah dengan tingkahku.
Jadinya aku merasa semakin bersalah. Apalagi kalau teringat skandalku bersama Boon, aku merasa semakin tidak pantas bersama Raven. Sayangnya, setelah mengobrol panjang bersama Ravero, aku justru yakin untuk memilih Raven. Ada banyak orang yang akan bahagia kalau aku bersama Raven. Kecuali Nadia, tentu. Dan Boon. Juga agak bias sih mengingat Ravero yang paling banyak diuntungkan. Tapi intinya Raven lebih banyak berkorban untukku dibandingkan Boon.
Yah, dia nggak semanis Boon, sih. Kadang-kadang aku nggak begitu yakin Raven mencintaiku. Seolah-olah dia hanya ingin memanfaatkanku karena aku gadis lugu dari Kalideres. Namun melihat semua pengorbanannya, kurasa dia nggak main-main. Dua apartemen dibeli buat keluargaku. Misal aku minta mobil dinas untuk masing-masing Raden, kayaknya dia bakal ngasih juga, sih. Gendeng kali ya dia.
Pukul empat sore, salah satu sopir Raven menjemputku. Sengaja bukan Boon, agar Nadia nggak curiga katanya. Kalau Boon mendadak hilang di tengah pekerjaan, Nadia akan bertanya-tanya. Bisa-bisa Nadia menyuruh orang membuntuti Boon ke mana, lalu dia jadi tahu rumah Boon yang mana. Boon nggak pernah balik lagi ke rumahnya sejak dia mengantarku ke sini, hanya demi mengurangi kemungkinan Nadia membuntutinya.
Aku berusaha mengikuti rencana Raven, salah satunya dengan mengenakan wig Revalina. Entah ya, ketika aku mengenakannya, rasanya seperti aku menjadi orang lain. Rasa sedihku menguap begitu saja saat mematut diri di depan cermin. Kepercayaan diriku meningkat. Mungkin karena aku suka bentuk rambutnya, membuat garis mukaku kelihatan jelas.
Aku tiba di sebuah hotel mewah Jakarta Pusat sebelum pukul lima sore. Seorang bell boy seperti sudah mengantisipasi kedatanganku. Dia membukakan pintu dan langsung berkata, "Nona Monika, silakan." Wow. Seperti pramugari di jet pribadi, bisa tahu namaku. Dia juga langsung membawaku ke lift menuju salah satu lantai teratas. Kami menyusuri lorong yang sangat mewah dengan karpet berukir dan wallpaper bernuansa hangat. Penerangan juga keemasan. Bell boy itu baik sekali.
Kurasa aku harus memberinya tip.
Aku mengaduk tasku mencari dompet. Namun, benda itu nggak kutemukan di mana-mana. Kayaknya aku meninggalkannya di kamar. Ah, sial. Aku merogoh saku celana jinsku mencari berapa pun uang yang kupunya. Sayangnya aku nggak menyimpan uang sepeser pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomansaMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...