(57) Nasty

8.5K 796 103
                                    


Pertemuan dengan teman-teman Yuni dan Anwar berlangsung lancar dan aman. Kami selesai pukul 10 malam setelah menghabiskan coffee break dan berapi-api menyatakan perang terhadap pelaku kekerasan seksual. Agak-agak di luar ekspektasiku, sebenarnya. Kukira kami hanya akan membahas cara peringkusan Jaka dan kawan-kawan, tetapi sesi itu berlangsung dua puluh menit saja, lalu berjam-jam sisanya adalah mencetak foto Jaka ke atas kertas dan masing-masing dari kami menusuk jarum pentul ke wajahnya.

Sudah seperti kultus pemujaan setan dengan para penyihir wanita abad pertengahan.

Apalagi bagiku, seisi ruangan itu isinya perempuan semua, meski sebagian tidak dalam body perempuan.

Pertemuan juga ditutup dengan keberhasilan kami membukukan janji bersama ketiga pelaku itu untuk tiga hari ke depan. Yuni malah malam kemarin sudah bertemu Jaka di bioskop untuk menonton bareng, berciuman, mencekoki Jaka dengan vodka, sehingga Yuni bisa meminta nomor telepon Akbar dan Yana.

Semua berjalan seperti rencana. Seperti yang pernah kami bahas di Turki sana.

Malam ini, ada rencana lain dieksekusi.

Rencana Raven dan Nadia.

"Kamu enggak apa-apa, Neng?" Boon menyikutku, membuyarkanku dari lamunan.

"Enggak apa-apa," jawabku, merapikan selimut tempat tidur padahal selimut itu sudah rapi dari sananya. Bahkan, gara-gara kupegang, permukaannya jadi agak-agak berantakan.

Aku, Boon, dan Martin berada di sebuah kamar hotel yang sebentar lagi akan digunakan oleh Raven dan Nadia untuk bermesraan. Kedua cowok itu dengan cekatan memasang kamera dan mikrofon di mana-mana, seperti yang mereka lakukan untukku dan Pak Suseno di Karimunjawa. Martin tampak lihai menyembunyikannya. Tahu-tahu, semua gambar dan suara terkoneksi ke kamar sebelah yang akan kami gunakan sebagai markas.

Aku tak bisa melakukan apa-apa selain hadir di sana dan melihat semua prosesnya. Boon sudah menyarankanku untuk tidak ikut. Namun aku bersikeras untuk ikut dan menonton. Bukan karena aku ingin memastikan Raven dan Nadia enggak begituan. Aku hanya merasa perlu memberikan moral support kepada Raven dalam menjalankan aksinya.

"Mbak Monika," panggil Martin dari seberang ruangan, "tolong jangan pindahkan jam digital itu. Di situ ada kamera yang sudah saya arahkan ke sana."

"Oh, sorry, sorry!" Dengan rapi kukembalikan jam digital di atas meja ke posisi semula.

Masalahnya adalah ... meski aku sudah ikhlas dan optimis pada rencana ini, rasa cemburu itu masih saja menyelimuti hatiku. Alhasil, aku merasa tak tenang berada di sini, tetapi aku ingin berada di sini. Sejauh ini aku sudah mengacaukan beberapa lokasi kamera yang disiapkan Martin.

"Mungkin Neneng tunggu di kamar sebelah aja, biarin kami yang ngatur. Gimana?" tawar Boon. "Toh, Ravennya juga masih belum datang."

"Ah, good idea!" sahut Martin bersemangat. Kelihatannya dia sudah bete karena aku mengganggu pekerjaannya terus sedari tadi.

"Raven itu profesional. Apa yang akan dia lakukan malam ini ke Nadia, sama persis dengan apa yang Neneng lakukan ke Pak Suseno di Karimunjawa kemarin. Dan ini pun bukan hal pertama buat Raven. Dia pernah menggoda seorang istri kepala daerah ke atas kasur, ngebikin si istri kepala daerah ini merasa terpuaskan seksualnya, tanpa Raven harus betulan begituan ...." Boon mempraktikkan adegan cincin masuk ke jari. "Lalu setelahnya Raven bisa mendapatkan izin pembebasan lahan dengan mudah, setelah sebelumnya dipersulit."

"Profesional banget!" Martin mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. "Most likely, dia enggak akan ngomong ke earphone karena dia tahu enggak ada mikrofonnya di situ."

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang