Tidak semua hal bisa dikontrol Raven.
Perintah sang ibu, adalah salah satunya.
Di sebuah acara di mana aku seharusnya bersenang-senang dengan kue ulang tahun, bersosialisasi, karaokean (di gerbongku tadi ada alat karaoke), juga mencicipi camilan mahal yang mungkin seumur-umur nggak akan pernah kusantap, aku malah terjebak di gerbong utama keluarga yang berulang tahun, duduk ketakutan seperti tikus tak berdaya yang sudah terjebak di perangkapnya.
Nggak, kok. Aku bukan santapan empuk Keluarga Hadiputra. Aku hanya ditimpa sial saja, berada di tempat yang tidak tepat, pada saat yang tidak tepat.
"But, Mom! There's nothing going on between me and Nadia anymore!"
Nadia sesenggukan. "This is my fault," isaknya. Dengan air mata palsu.
Yep. Aku sedang ada di dalam perseteruan internal salah satu keluarga kaya raya di Indonesia. Aku penasaran, bagaimana caranya enam bodyguard di dalam kabin memasang ekspresi kaku, seolah-olah nggak ada ibu dan anak yang beradu mulut di depan mereka. Aku sih sedari tadi duduk sambil menunduk. Menggenggam cangkir tehku dengan agak gemetaran di atas pangkuan.
"Papamu sudah tua, Abang," ujar Ibu Ratu. Aku tak tahu apa yang sedang dia rasakan, karena ketika bicara barusan, kurasa nggak ada satu pun otot di wajahnya yang bergerak. "Melihat kelakuan anak-anak di Keluarga Hadiputra yang apatis, papamu ragu beliau bisa melihat cucu pertamanya sebelum mengembuskan napas terakhir."
"Mommy, don't say that," ungkap Revalina lembut. "Daddy's health is getting better."
"He's going to die, eventually. Like all of you," balas Ibu Ratu, menyesap teh koramilnya dengan anggun.
Aku tahu itu teh koramil, karena salah satu bodyguard menyajikannya untukku dari teko yang sama dengan Ibu Ratu. Teh ini rasanya sama persis dengan teh yang kuminum di pesawat. Yang aku nggak begitu yakin adalah nama tehnya. Apa benar koramil? Mengapa harus koramil?
Namun tehnya enak. Membuatku merasa lebih tenang. Jadi, ketika Raven berteriak dengan berang, aku menyesapnya sedikit seperti Ibu Ratu, supaya aku tetap bisa menguasai diri.
Raven adalah orang pertama yang beranjak dari kursinya untuk menolak ide Ibu Ratu. Dia keberatan melangsungkan pertunangan dengan Nadia, dan dia mengatakannya di depan Nadia. Jadi aku merasa terhibur sekali melihat wajah Nadia saat Raven melompat untuk menampik ibunya.
Dari yang kusimpulkan, meski bahasa Inggrisku pas-pasan (karena entah mengapa orang-orang kaya ini hobi sekali mengobrol dalam bahasa Inggris), Raven dan Nadia pernah punya hubungan istimewa. Aku nggak tahu tepatnya kapan, karena yang Raven tekankan adalah dia sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi dengan Nadia. Raven mengulangnya sampai sepuluh kali, mungkin. Namun Ibu Ratu tetap saja bersikukuh menikahkan mereka.
"Nadia is a perfect choice," ujar Ibu Ratu kemudian. "Masih ada relasi dengan keluarga kita, meksipun jauh. Jadi seluruh aset dan harta yang kita punya, nggak kan jatuh ke keluarga lain."
"Aku berjanji akan membawa nama Hadiputra sebaik-baiknya," kata Nadia. Padahal nggak ada yang meminta dia bicara. Memangnya kita sedang pelantikan apa, berjanji-janji segala?
"But I don't love her," ujar Raven. "And she knew that."
Nadia menunduk. "This is my fault," ulangnya.
"What is love for?" tanya Ibu Ratu. "Love cannot feed your stomach."
Raven berdecak kesal sambil menggosok-gosok tengkuknya. Kulihat Raven sudah babak belur dihantam kata-kata ibunya. Omong-omong, perseteruan ini sudah terjadi bermenit-menit. Kakiku agak kesemutan karena berada pada posisi yang sama, seempuk apa pun sofa yang kududuki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...