Aku memulai pagi dengan berteriak kencang membangunkan semua orang di rumahku.
"Aaaaaargh!" Seolah-olah aku melihat pocong di atas lemari, sampai-sampai Raden Ningsih ikutan menjerit juga. "Aaahhh!" Suaranya lebih melengking daripadaku. Mungkin karena dia kaget.
Ibu berlari tergopoh-gopoh dari dapur, yang jaraknya hanya dua meter saja di ruang sebelah. "Kenapa, Neng? Kenapa?" Di tangannya ada sendok sayur dari kayu, teracung seperti siap menghantam sesuatu. Mata ibuku awas menatap jendela di kamar kami yang masih tertutup rapat. Mungkin Ibu mengira ada rampok masuk ke rumah.
Lebay, sih. Memangnya apa yang bisa dirampok di rumah ini? Segentong nasi uduk?
Kita punya Raden Setyo di ruang depan, tertidur di atas kasur palembang. Raden Setyo bagaikan alarm antimaling. Semua maling sebelum masuk sini akan teringat bahwa Raden Setyo tinggal di sini. Pasti mereka nggak jadi masuk.
"Maaf! Maaf!" sahutku sambil mengatur napas. "Nggak ada apa-apa."
Raden Ningsih ngomel-ngomel. "Elah, kenapa sih lu tereak-tereak? Gue shift pagi ini sekarang." Dengan bete Raden Ningsih kembali menarik selimut dan tidur membelakangiku.
"Ya maaf."
"Lu mimpi buruk, Neng?" tanya ibuku, mengurut dada di depan pintu kamar.
Karena aku sulit menjelaskannya, kubilang saja, "Iya."
Sebenarnya, aku bermimpi indah. Dan mimpi indah ini, bukanlah mimpi.
Aku memulai rutinitas subuhku dengan bangun pukul empat pagi untuk membuat perkedel. Raden Ningsih pasti masih molor. Dia baru akan bangun pukul 6 untuk siap-siap bekerja, nggak pernah membantu ibu kami membuat panganan nasi uduk karena dia selalu ranking 1 di sekolah. (Katanya kalau ranking 1 nggak perlu hidup susah.)
Seperti hari-hari sebelumnya, sebelum aku menyeret tubuhku turun dari tempat tidur menuju dapur, aku akan mengecek ponsel. Dengan iseng aku mengecek nomor rekeningku, karena sejak Martin mentransfernya kemarin sore, aku belum mengecek lagi.
Di situlah mimpi indahnya.
Rekeningku berisi uang 200 juta rupiah.
Wajar kan kalau aku berteriak seperti melihat pocong? Lututku masih bergetar ketika aku turun untuk membuat perkedel. Selama beberapa saat aku masih disoriented sampai-sampai mengulek kentang bersamaan dengan ati ampela rebus.
Ibu langsung melolong, "Lu mau bikin kita bangkrut?! Ngapain lu bikin perkedel dari ati ampela, hah?!' Semua orang di rumah yang sudah tertidur setelah kubangunkan tadi, akhirnya terbangun lagi oleh suara Ibu. Tapi aku yang diomeli nggak measa diomeli.
Aku masih melayang-layang. Aku masih nggak percaya dengan apa yang kulihat di layar. Berkali-kali aku tutup aplikasi bankku dan kubuka lagi, isinya tetap sama. Ada 200 juta di dalamnya. Apa Martin kelebihan masukin angka nol, ya? Yang tertera di kontrak saja hanya 20 juta, kok. Meski aku nggak tahu apakah 20 juta itu per bulan, per hari, atau setiap kali aku bercumbu dengan Pak Suseno.
Kuputuskan untuk mengirim WA kepada Martin, Kemarin nggak salah kirim kan?
Pukul tujuh pagi ketika aku membantu ibuku berjulan nasi uduk di pasar (karena aku shift siang), Martin membalas, Nggak, kok. Memang segitu. Kurang, ya?
Kurang ajar emang orang-orang kaya ini. Masa 200 juta disebut kurang?
Ya kurang, sih. Apalagi kalau aku harus punya gaya hidup seperti Revalina, seenggaknya aku butuh ditransfer 2 miliar setiap hari. Hasil belanja Revalina di High End kemarin saja melebihi uang 200 juta yang kuterima ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...