Mohon maaf, Sahabat, aku nggak berhasil merayu Boon untuk pindah ke hotel yang ada microwave-nya. Setelah aku bertanya seperti itu, Boon malah menyipitkan mata curiga sambil menatapku.
"Why are you so obsessed with microwave?" tanyanya. Pakai bahasa Inggris pula.
Mungkin karena aku nggak merespons apa-apa setelah dia bertanya (sebenarnya aku sedang berusaha menerjemahkan pertanyaan Boon, karena aku bingung obses itu artinya apa? Gendut atau bisul? Kayaknya aku pernah dengar salah satu artinya itu), Boon pun memperjelas pertanyaannya dengan bahasa Indonesia. "Hal pertama yang Neneng pikirin setelah musibah datang adalah microwave. Setiap ada microwave, auranya beda. Yang asalnya mistis jadi ceria."
Aku mengangkat bahu dengan frustrasi. "Nggak tahu," kataku jujur. "Microwave bikin aku happy."
"Apanya?"
Entahlah. Mungkin karena aku selalu merasa microwave adalah benda ajaib buatan manusia. Kayak, nggak bisa dijelaskan, gitu. Kamu masukkan makanan ke dalam sebuah kotak, tahu-tahu makanannya hangat. Nggak ada api kayak di kompor. Dari mana coba panasnya datang? Apa di pinggirannya ada apinya? Kan, nggak. Bagiku, microwave diidentikkan dengan orang kaya. Di film-film aku nyaris selalu melihat microwave. Bentuknya beragam, ada lampu di dalamnya seperti kulkas, dan yang paling keren adalah ...
... ada nampan di bagian dalamnya yang bisa berputar!
Namun aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya kepada Boon. Jadi aku hanya menggeleng saja.
"Kita udah book buat seminggu di hotel ini. Gapapa kalau kita ganti hotel nanti aja setelah check out?" tanya Boon, bernegosiasi.
Aku mengangguk patuh. "Iya, gapapa."
* * *
Kukira liburanku ke Turki akan memperbaiki rasa sedih dan depresi yang kualami. Nyatanya tidak. Aku nggak bisa tidur malam pertama berada di sana. Aku gelisah sepanjang malam, berguling kanan-kiri entah karena apa.
Boon ada di tempat tidur sebelahku. Dia tampak tidur dengan damai.
Jujur saja, aku belum bisa mengenyahkan bayangan mengerikan di gudang itu. Setiap aku menutup mata, wajah Jaka memenuhi kepalaku. Seringainya yang mengerikan, dan bagaimana dia membuka celana, pokoknya ... begitu, lah. Aku sudah mencoba membayangkan hal-hal yang menyenangkan, seperti misalnya microwave besar yang isinya kebab. (Tadi aku melihatnya ketika berjalan kaki mencari makan malam bersama Boon.) Namun dari balik microwave besar itu muncul lagi Jaka sambil membawa pisau kebab yang panjang. Dan dia menyajikanku kebab yang nggak dikasih saus sambal!
Itu mengerikan!
Jadinya, aku terbangun, dan terbangun, dan terbangun lagi sampai-sampai seluruh tubuhku berkeringat.
"Neng?" Tiba-tiba Boon bertanya di dalam kegelapan kamar. Dia menyalakan lampu kecil yang ada di meja sampingnya. "Belum tidur?"
Aku sedang duduk di atas sofa sambil menatap ke luar jendela. Kutolehkan kepala ke arah Boon sambil menggeleng pelan. "Nggak bisa tidur."
"Mimpi buruk?"
Kuanggukkan kepala.
Bukan hanya itu, sih. Sebenarnya ... bagian 'di bawah sana' masih mengeluarkan darah. Kukira aku mulai masuk periode menstruasi. Jadi tadi, setelah makan malam, aku diantar Boon membeli pembalut di toko kelontong terdekat. Penjualnya—ibu-ibu—nggak memahami kata-kataku. Padahal aku sudah mengatakan berulang kali, "Softex, Miss! Softex! Sooof ... tex! Softex!" Aku sudah bicara pakai huruf F, lho. Bukan P. Tetap saja dia nggak paham. Padahal dia sama-sama perempuan, seharusnya dia tahu!
![](https://img.wattpad.com/cover/220705221-288-k838188.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...