(32) Vulnerable

12.8K 1.7K 426
                                    


Tenang saja. Tidak terjadi apa-apa antara aku dan Pak Suseno. Mood aki-aki itu lebih buruk dibandingkan Raven. Rambutnya mengacung ke atas karena stres. Satu kancing paling atas dilepaskan seperti kegerahan, padahal ruangannya dingin ber-AC. Kulihat tiga gelas kopi yang bersisa ampas bertebaran di atas meja, di antara kertas-kertas finansial yang nggak kumengerti.

"Nak Raven, mungkin kali ini saya nggak bisa membantu banyak," sapa Pak Suseno kali pertama. Tangannya masih sibuk menyusuri sebuah daftar, untuk dicocokkan dengan daftar lain. Di sebelahnya bertumpuk kertas-kertas yang sudah ditempeli receipt pembelian entah apa.

"Saya paham. Tapi situasi ini bisa menjerat kita semua," ungkap Raven tidak mau kalah.

"Minggu ini divisi saya diaudit," balas Pak Suseno, panik. "Saya masih punya ribuan transaksi palsu yang harus saya buat. BPK dan KPK datang barengan hari ini menemui atasan saya."

Aku merasa deg-degan sekali mendengar itu. Seolah-olah dalam lima menit sekumpulan orang bersenjata akan menghambur masuk lewat jendela. "Tiarap! Tiarap! Kami polisi!" Tahu-tahu besok pagi aku masuk Liputan 6 SCTV, dikerubungi wartawan sambil berjalan ke ruang sidang. Judul artikelnya, Anak Tukang Nasi Uduk yang Tersandung Kasus Korupsi.

Mungkin aku akan masuk penjara. Satu sel dengan Angelina Sondakh. Semoga aku boleh bawa hape, supaya aku bisa foto bareng.

Raven berdeham. Setelah sebelumnya dia tertegun mencari kata-kata. "Kalau Bapak butuh dana untuk—"

"No, no, no, no, no," sela Pak Suseno segera sambil menghempas selembar kertas. "Saya nggak bisa nerima gratifikasi uang, Nak Raven. Terlalu berisiko. Baru saja awal tahun ini Bu Neneng masuk penjara gara-gara nerima suap pembangunan Meikarta. Gratifikasi untuk saya, bentuknya harus lain—"

"Satu juta dolar?" potong Raven.

"Nggak bisa, Nak Raven," balas Pak Suseno, sambil menggelengkan kepala.

"Free pass terbang dengan maskapai saya nanti seumur hidup," tawar Raven lagi.

"Nggak bisa juga. Saya harus—"

"Lima juta dolar," penggal Raven kembali, membuat Martin menoleh dan mencolek lengan bosnya itu.

"Boss, are you sure?" bisiknya.

Raven tak menggubrisnya. Pandangan Raven masih terkunci pada Pak Suseno yang kini tampak mempertimbangkan tawaran itu. "Lima juta dolar plus free pass terbang ke mana pun?" nego Pak Suseno.

Dengan entengnya Raven mengangkat bahu. "Why not?"

"Dan Bapak juga dapat undangan ke pertunangan kami di Uluwatu," tambah Nadia.

Astaga, siapa sih memangnya yang membutuhkan itu? Kenapa juga ngomongnya harus sambil membelai bahu Raven? Aku memutar bola mata diam-diam.

"Nggak," kata Pak Suseno, menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Nggak bisa. Saya nggak bisa nerima bantuan apa pun dalam situasi seperti ini."

"Saya juga bisa outsource karyawan saya untuk bantu Bapak membuat receipt palsu itu. Kalau perlu malam ini." Raven tak menyerah.

Martin kembali mencolek lengan bosnya, sambil menggeleng kecil ketika Raven menoleh sejenak ke arahnya. Namun Raven hanya mengeraskan rahang dan mengabaikan lagi saran Martin.

"Dan nanti, di acara pertunangan kami, Bapak bakal dapat special accomodation dari—"

"Nadia," sela Raven sambil melemparkan senyum palsu. "Don't."

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang