(52) Exuberant

16.2K 1.6K 420
                                    


Mungkin benar apa yang Boon bilang, kehadiran Raven memulihkanku lebih cepat dibandingkan seharusnya. Sudah lima hari sejak Boon pergi meninggalkan Istanbul, tak sekali pun aku merasa depresi atau ingin bunuh diri.

Salju di Istanbul hanya bertahan tiga hari. Hari keempat semua sudah meleleh tanpa sisa, seolah-olah tak pernah turun salju sebelumnya. Aku dan Raven lebih banyak merapatkan tubuh di bawah selimut atau di dekat penghangat. Kami mencamil panganan lokal yang manis sambil menyesap turkish tea yang berwarna cokelat pekat, dan sesekali menguarkan aroma bunga mawar.

Malam pertama salju turun, kami berdua bergelung di depan penghangat sambil menyampirkan dua lapis selimut tebal ke tubuh kami. Seporsi sigara böreği menemani kami sepanjang malam. Sigara böreği seperti cheese roll, atau lumpia, dengan adonan keju sebagai filling. Ada aroma kuat rempah dan dedaunan entah apa, juga irisan bawang merah besar.

Malam itu, aku menuntut Raven untuk menjelaskan, apa yang Boon maksud dengan menjadi diri sendiri.

Raven menghela napas. "Saya tetap saya, kok," jawabnya, agak-agak menggantung di udara.

Jadi, aku mendesaknya dengan bertanya, "Tapi?"

"Tapi ada bagian yang harus saya simpan dalam-dalam."

"Kenapa?"

Raven mengangkat bahunya. "Karena tuntutan pekerjaan?" Raven terdengar seperti bertanya.

"Kamu, kan lagi nggak kerja sekarang. Berarti nggak perlu disimpan, dong?"

Raven terkekeh kecil. "Kamu yakin mau saya keluarin semuanya?"

"Kenapa memangnya?"

"Nanti kamu ... jadi nggak suka saya lagi. Bagian diri saya yang disimpan ini main-main mulu, Monika. Jauh banget dari saya yang sekarang."

"Pertama kali aku lihat Abang di High End, Abang pake kaus you-can-see dan celana pendek. Padahal CEO. Udah bikin ilfeel dari dulu." Aku menjulurkan lidah. "Tapi aku nggak berhenti suka sama Abang."

Raven tersenyum lebar sambil mengusap kepalaku, dan menariknya ke dada Raven yang lebar. "Entahlah, Monika. Udah lama saya nggak begitu. Sejak ngurus setengah Hadiputra Group, semua orang menuntut saya untuk kelihatan berwibawa. Saya kecolongan aja pake baju kasual begitu ke High End, habisnya makan siang sama Suseno itu mendadak."

"Abang menikmati jadi Raven yang begitu?"

Raven menggeleng kecil. "Nggak pernah. Saking saya nggak terbiasa pakai formal suit, semua kemeja dan jas yang saya beli langsung dibuang hari itu juga. Boon biasanya ngumpulin jas-jas yang saya buang."

Mendengar cerita itu, rasanya sudah lama sekali. Aku masih ingat ketika Boon mengantarku pulang dan memberikan kemeja Raven yang dibuang ke jok depan. Kemejanya terbakar, by the way. Kemeja berharga jutaan rupiah terbakar di rumah kontrakanku di Kalideres. (Blus Chanel itu masih ada, tapi nggak dibawa Boon saat dia menculikku ke Istanbul tempo hari.)

"Ya udah ...," kataku sambil membelai dada Raven yang bidang, "selama bareng aku di sini, aku mau Abang jadi diri sendiri."

"Saya nggak janji—"

Aku memotong kata-kata Raven dengan meletakkan telunjukku di depan bibirnya. "Gu .. e," pimpinku. "Jangan bilang saya."

"Why?"

"Karena waktu Abang 'gue-eloan' sama Boon, aku ngerasa ... Abang lebih nyantai ..., lebih tangguh ..., lebih jadi diri sendiri. Kalau pakai 'saya' tuh rasanya kayak lagi ngobrol sama bos."

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang