Kurasa seharusnya aku tak punya suratan takdir untuk berada di tempat seperti ini. Setiap dek indoor dilapisi karpet merah yang lembut dan tebal. Aroma lemongrass yang menenangkan menguar di setiap sudut. Aku berhenti di salah satu pot bunga karena mengira dari situlah aroma itu berasal. Ternyata bunga-bunga itu terbuat dari kertas dan tak ada aromanya.
Karena aku tidak terbiasa berjalan di atas karpet mengenakan sepatu, jadinya aku berjalan ragu-ragu. Pramusaji berkeliling menyajikan minuman berwarna emas dalam gelas-gelas berkaki tinggi. Kuduga itu alkohol, jadi aku menolak semua pramusaji yang menghampiriku untuk menawarkan minumannya. Aku butuh air putih, sih. Semua adegan dari High End hingga ke sini membuatku kelelahan. Raven menghampiri sebuah etalase makanan untuk menyapa seorang koleganya. Aku mengekori di belakang dan menemukan beberapa gelas air putih tersaji di atas nampan perak.
Kuambil satu dan kuteguk langsung karena haus.
Pffft!
Aku memuntahkannya seketika, sampai-sampai muncratannya mengenai punggung Raven. Laki-laki itu menoleh sambil mengerutkan alisnya dengan kesal.
"S-sorry ...," kataku ketakutan.
Raven menggeleng kecil lalu kembali ke percakapannya, "So, basically, my approach is ...."
Minuman apaan itu?! jeritku dalam hati. Aku kira air putih. Ternyata ada rasanya. Seperti rasa buah, dicampur ... apa, ya? Anyir ikan. Gurih ayam. Ada rasa asamnya juga.
Ya Tuhan, bisa jadi itu bukan minuman. Bisa jadi itu hanya pajangan saja.
Aku sampai merasa mual ingin muntah membayangkan air apa yang barusan masuk melewati kerongkonganku. Di lokasi semacam ini, bisa jadi mereka menciduk air laut dan memajangnya di sini. Karena kapal juga agak bergoyang-goyang sedikit, rasa mual itu berubah menjadi rasa pusing. Aku betulan butuh air putih untuk menenangkanku.
Mengabaikan rasa malu, aku mulai mencari pramusaji terdekatku. Aku masih berdiri di belakang Raven, bersembunyi di balik tubuhnya yang besar dan bongsor. Seorang perempuan bersetelan putih hitam dan dasi kupu-kupu di bawah lehernya, berjalan melewatiku. Susah payah aku memanggilnya.
"Mbak? Mbak?" Aku harus berpegangan ke meja agar tidak limbung. Tiba-tiba saja kapal ini rasanya berguncang lebih kencang dibandingkan semenit lalu.
Perempuan itu tidak mendengarku. Jadi aku mencoba peruntungan dengan pramusaji berikutnya. Masalahnya, aku nggak berani meninggalkan Raven sendirian. Tugasku kan sederhana: membuntuti Raven dan pura-pura mencatat seperti sekretaris. Jangan sampai Raven menghilang dalam satu kedipan mata, lalu aku bingung harus mencarinya ke mana.
Jadi, seperti orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, aku mulai mengacung-acungkan tangan memanggil pramusaji terdekat. Semuanya tak ada yang menggubrisku. Padahal aku sudah sangat pucat, kurasa. Sesekali aku lututku bergetar ketika aku bersusah payah menjejakkan kaki di atas karpet lembut itu.
Mengapa kapal ini nggak berhenti bergoyang? Mengapa?! Memangnya ada ombak? Apa kita akan tenggelam?
Selama lima menit aku mati-matian menguasai diriku agar tidak semakin pusing. Aku menekan gigi-gigiku sendiri, menahan agar tidak ada muntah yang keluar. Rasa minuman pajangan itu benar-benar membuatku enek. Aku harus menghilangkannya dari lidahku sebelum aku muntah betulan. Karena aku limbung kanan kiri, saat aku mengangkat tangan mencoba menarik perhatian pramusaji, tanpa sengaja tanganku menggebrak punggung Raven.
Laki-laki itu menoleh lagi.
Shit.
Jantungku betulan serasa copot sekarang. Di tengah rasa mual, cowok galak ini kuganggu lagi dari obrolannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...