Kejadiannya begitu cepat.
Boon melepaskan jas hitamnya, lalu menyampirkannya ke tubuhku. Dia mengecek pakaianku yang masih bisa dikenakan. Rokku masih bisa dikenakan. Kalau atasan sih sudah terkoyak. Aku dipakaikannya apa pun yang bisa dipakai. Boon lalu membopongku ke dalam gendongannya, tak peduli darah mulai melukis tangan dan wajahnya.
Boon berjalan melewati kolam renang. Dia sempat berteriak, "Tolong!" ke arah rumah. Namun orang-orang sedang sibuk mendengarkan seseorang memberikan sambutan. Boon akhirnya membawaku ke mobil. Menidurkanku di jok belakang sambil menyelimutiku dengan jaketnya yang lain.
Selama dia melakukan semua proses itu, Boon menangis. Bahunya berguncang.
Bahkan setelah dia duduk di depan kemudi, Boon terisak-isak sambil membenturkan kepalanya ke kemudi. Dia diam saja selama beberapa detik. Ketika akhirnya mobil itu melaju, tangis Boon terdengar lebih keras dari tangisanku.
* * *
Sekali lagi, kejadiannya begitu cepat. Mungkin karena aku merasa hampa dan tak punya harga diri lagi, aku tak peduli pada konsep waktu dan ruang. Aku tak peduli ada di mana. Aku tak peduli sekarang pukul berapa. Aku tak peduli jika mobil ini menghantam truk tronton di depan sana lalu aku tergilas hingga gepeng.
Bagus, malah. Supaya aku nggak perlu menghadapi dunia dengan status habis diperkosa.
Air mataku kering. Sehingga yang kulakukan adalah mengatur napas yang tercekat dan menenangkan tubuhku. Aku nggak bisa tenang. Mungkin aku nggak akan pernah tersenyum lagi seumur hidup. Sepanjang terbaring di atas jok, pandanganku kosong menatap ke jok depan, nyawaku entah berada di mana.
....
Aku nggak mau bahas lebih dalam lagi, Sahabat.
Rasanya seperti aku masuk ke dalam ruangan yang sangat gelap. Tak ada dinding, tak ada cahaya, tak ada siapa-siapa. Wajah ketiga laki-laki itu terus-menerus berputar di kepalaku. Setiap detik perbuatan bejat itu di-rewind berulang-ulang tanpa ampun. Semakin ke sini, semakin menyakitkan. Semakin ke sini, rasa ngilunya semakin terasa menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku sampai tertawa sambil menonton halusinasi itu. Tawaku bercampur dalam tangisan.
....
Dan tawa itu akhirnya berhenti ketika tangan Boon terulur dari depan ke belakang. Dia menggenggam tanganku dengan erat. Tangannya hangat. Membuatku sedikiiit ... lebih baik, tetapi aku masih merasakan hampa yang sama. Tangan itu hanya terlepas kalau harus mengganti persneling. Di luar itu, Boon mengulurkannya lagi ke belakang untuk menggenggam tanganku.
....
Apa ini mimpi?
Aku berharap ini mimpi.
Malah, aku berharap ini semua hanya prank semata. Ini hanya ulah Nadia yang jail yang mencuci otakku sehingga aku berpikir aku sudah diperkosa. Namun setiap aku melihat ke pahaku dan menyentuh darah itu ...
... darah itu nyata.
Dan juga ... dan juga tangan Boon gemetar. Aku melirik sekilas ke arah bahunya.
Bahu Boon masih berguncang.
* * *
Aku tidak tahu kami berada di mana.
Mobil berhenti sejenak. Boon keluar dari mobil selama sekitar lima menit. Pintu mobil dikunci dengan otomatis. Boon meninggalkanku dalam kesunyian dan gelapnya malam. Aku tak bisa melihat apa-apa kecuali lampu jalanan yang menyorot bagian depan mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomansaMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...