(12) Delightful

16.8K 2K 238
                                    


Kami tiba di Breve Azurine Lagoon Resort Karimunjawa sekitar pukul 12 malam. Setelah mendarat, kami masih harus melewati perjalanan beberapa puluh menit menggunakan mobil. Aku sudah cukup lelah mengikuti semua perjalanan ini. Biasanya pukul sepuluh malam aku sudah tidur karena pukul empat akan dibangunkan Ibu untuk membuat perkedel. Aku tahu pagi nanti aku tidak akan membuat perkedel, tetapi tetap saja aku kelelahan.

Yang paling membuatku cemas sih hukuman dari Raven. Di pesawat tadi, dia menentukan bahwa aku akan sekamar dengannya. Padahal awalnya, Raven dan aku akan memiliki kamar masing-masing (pun Pak Suseno dan kawannya—namanya Pak Handi, akhirnya aku bertanya ketika kami turun pesawat tadi). Martin rencananya tidur sendiri, tetapi Boon ikut, jadi Boon akan ditempatkan bersama Martin. Eeeh ... mendadak aku yang harus tidur bersama Raven.

Gimana, ya? Ada perasaan senang meliputi hatiku ketika tahu akan satu ranjang bersama cowok seganteng dan segagah Raven. Namun ada perasaan takut juga. Mungkin karena aku terbiasa terintimidasi, jadinya kupikir tidur pun harus benar.

Gimana kalau ternyata tidurku ngorok?

Yuni langsung meneleponku ketika kunyalakan lagi ponsel sesampainya di hotel.

"Kenapa lo nggak bisa ditelepon, sih?! Gue cemas, tahu!" sapanya pertama kali. "Gue kira lo kayak Lion Air atau AirAsia gitu, jatuh di Laut Jawa!"

Aku sudah duduk di lobi utama, menunggu Martin menyelesaikan proses check in. Kulihat Raven duduk lelah di sofanya, sibuk dengan ponsel. Pak Suseno juga sama. Meski hal pertama yang dia tanyakan ketika sampai di hotel adalah, "Di mana kita bisa karaokean?"

Aku berdiri dan menjauh ke bagian depan hotel. "Kata pramugarinya nggak boleh nyalain hape. Demi keselamatan penerbangan." Aku mendengar anjuran itu saat demo keselamatan, meski alasanku mematikan ponsel jelas bukan itu.

"Lo sekamar ama Nadia nggak?" tanya Yuni tanpa basa-basi.

"Nggak ada Nadia di sini."

"Bagus."

Kenapa dia terdengar puas?

"Jadi kamu dapat kamar sendiri?"

Karena lelah, aku tak memikirkan bahwa dampaknya sangat dahsyat jika aku mengatakan tidur sekamar dengan Raven. Jadi aku malah jujur saja bilang, "Aku sekamar sama Raven—"

"Aaarrrggghhh!" Yuni mulai berteriak gembira.

Dan aku memperparah hal itu dengan mengatakan, "—karena aku dapat hukuman gara-gara nakal, lalu aku harus dilatih biar seperti Nadia di atas ranjang, lalu—"

"AAAAAARGH!" teriakan itu lebih panjang dan melengking, melolong seperti serigala sampai-sampai kukira Yuni sedang ada di sekitar sini, di tengah hutan atau di tengah laut. Kemudian saat itu aku tersadar telah melakukan kebodohan.

"Sorry, Yun. Pramugarinya bilang aku harus matiin hape lagi. Bye!" sahutku buru-buru sambil menutup telepon, lalu mematikan lagi ponselku. Aku menarik napas dan berjalan kembali ke lobi utama. Tinggal Raven yang berada di sana. Semua orang sudah tidak ada.

Raven berdiri di tengah ruangan. Kopernya yang mungil berdiri di sampingnya.

"Ayo!" katanya sambil mengedikkan kepala. "Kamu yang bawa itu."

Baiklah. Aku menarik napas menyiapkan diri untuk satu kamar bersama anak bos grup perusahaan tempatku bekerja. Anak bos yang bukan sekadar anak bos, tetapi jenis-jenis yang kalau celananya melorot dikit, aku bisa dikirim ke rumah sakit.

Resor yang kami tempati tampak cantik sekali. Setidaknya bangunannya, karena ini masih malam hari. Namun aku bisa mendengar debur ombak dan suara laut di seberang sana. Bangunannya bernuansa kayu dengan jendela yang terpampang nyaris di mana-mana. Ukiran kayu yang kasik disertai lampu-lampu lampion yang memendar keemasan membuatku seperti berada dalam istana.

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang