Maaf Sahabat, aku masih ragu.
Belum ikhlas, lebih tepatnya.
Meski Raven sudah memberikan petuah-petuah bijak sepanjang penerbangan menuju Dubai, aku tetap merasa cemburu mendapati rencana itu masih akan berjalan hingga detik ini. Ya memang aku belum melihat Raven bersama Nadia. Bahkan mungkin masih akan sangat lama hingga rencana itu dilaksanakan. Namun aku sudah mengumpulkan rasa cemburunya dari sekarang.
Aku tidak menikmati sepenuhnya penerbangan mewah itu. Satu-satunya yang membuatku nyaman adalah hadirnya Raven di sampingku, jadi aku masih bertahan. Hanya saja kepalaku dengan kreatif terus-menerus menciptakan berbagai kemungkinan Raven dan Nadia. Bahwa mereka lebih pantas bersanding sebagai suami istri dibandingkan aku dengan Raven.
Nadia mana mungkin mengambil sekotak kurma mewah saat pramugari menyodorkannya. Nadia juga pasti enggak akan mencuri handuk beraroma sedap itu ke dalam tas. (Atau mengutil botol-botol parfum mungil yang imut sekali di kamar mandi khusus kelas pertama.) Aku merasa diriku ini malu-maluin saja.
Bisakah aku menjadi seorang istri dari suami kaya raya seperti Raven? Istri yang tahu caranya membaca menu makanan dalam bahasa Prancis dan tidak mengira air dalam gelas kecil keramik itu sebagai kobokan? (Habisnya gelas mungil itu lebih kayak mangkuk, sih. Jadi kukira kobokan. Raven sampai menyikutku dan bilang, "Monika, itu air putih untuk minum.")
(Sudahlah, lupakan.)
(Mengingat-ingat soal itu membuatku semakin merasa tak pantas menjadi istri Raven, dan kans Nadia mencalonkan diri semakin besar.)
(Di mana secara teknis mereka akan bertunangan betulan dalam waktu dekat.)
Aku mencoba berpikiran positif dengan menikmati saja bandara Dubai yang supermegah ini. Karena kami menjadi penumpang kelas pertama, kami boleh naik sebuah mobil golf yang panjang menuju lounge VIP untuk menunggu penerbangan kami berikutnya enam jam ke depan. Kami menyusul ratusan penumpang lain yang harus berjalan kaki begitu turun dari pesawat menuju gerbang imigrasi. Kecuali Boon, keluarga dan temanku juga menaiki mobil golf yang sama, tetapi kami berbeda mobil. Aku hanya menumpang berdua bersama Raven.
Bandara itu luas sekali. Aku tak menyangka lokasi lounge-nya sangat jauh dari tempat pesawat kami parkir. Bahkan, kami harus melewati area duty free yang ramai oleh toko-toko modern yang menjual parfum, pakaian, alat makeup, oleh-oleh, dan obat-obatan. Sebelum berbelok ke lounge, aku bahkan sempat melihat toko elektronik yang menjual ponsel, yang kalau mataku enggak salah lihat, kayak ada microwave juga di sana.
Aku penasaran, microwave Arab bentuknya seperti apa?
Apakah ada tulisan halal atau apa, gitu? Apakah ketika pintu microwave-nya dibuka akan muncul suara "assalamu 'alaikum" supaya lebih syariat? Lalu ketika makanan selesai dipanaskan, bukannya bunyi 'ting!' yang muncul melainkan, "Alhamdulillah." Kalau benar begitu, aku wajib membeli satu.
Karena transitnya enam jam, kurasa aku akan menyelinap keluar, mungkin bersama Yuni, untuk melihat-lihat ke toko di ujung jalan tadi. Aku juga harus mencari monumen apa pun yang tulisannya DUBAI supaya aku bisa berfoto di depannya, lalu mengunggahnya late post ke Instagram beberapa minggu setelah sampai di Jakarta. (Aku sudah menyimpan banyak sekali foto di Istanbul.)
Sebelum tiba di lounge, aku melihat toilet umum terletak beberapa toko saja jaraknya. Seenggaknya kalau mau buang air, aku tahu harus ke mana. Lounge Emirates sangat besar sekali. Kurasa aku bisa tersesat sehingga aku terus-menerus menempel ke sisi Raven. Nuansa cokelat muda, cokelat tua, dan merah mendominasi perabot dan dinding. Para petugas yang berpenampilan hampir mirip pramugari berkeliaran di sekitar lounge. Ada dua lounge Emirates yang berbeda, untuk kelas pertama, dan kelas bisnis. Karena keluargaku tidak tahu kami berdua duduk di kelas pertama, jadi Raven melapor untuk downgrade ke lounge kelas bisnis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
Roman d'amourMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...