Hal pertama yang kulakukan adalah menelepon ibuku.
"Bu, Neneng nggak pulang ya malam ini. Neneng ada ...." Aku tak tahu alasannya apa sampai tak pulang. Dalam sejarah hidupku, kalau aku tak pulang, berarti sedang camping bersama sekolah atau kerja kelompok di rumah teman dan sudah nggak ada TransJakarta yang beroperasi. Tidak mungkin aku mengatakan sedang kerja kelompok. Sudah lebih dari setahun aku lulus SMA. "... ada acara ama temen."
"Ngapain pake nginep segala, Neng?" tanya ibuku sambil berdecak heran. "Terus besok yang bikin perkedel siapa?"
Oh, iya. Perkedel.
"Ibu libur aja, lah. Sehari dua hari. Kan Neneng udah ngasih uang kemaren. Masa tiap hari dagang terus."
"Kagak bisa, Neng," sahut ibuku. "Besok di pasar ada syuting Uang Kaget yang di Global Tipi. Ibu pengin dagangan Ibu masuk tipi."
"Ya udah, suruh si Aryo yang bikin perkedel."
"Alah, ada-ada aja kamu ini, Neng. Kalau si Aryo yang bikin mah, adonan belum masuk penggorengan pasti udah abis dijilatin ama dia."
"Ya gimana, dong? Neneng nggak bisa cancel, nih. Kalau nggak pakai perkedel gimana?"
"Ya nggak bisa atuh, Neng. Nanti ada sensasi yang kurang. Masa tukang nasi uduk masuk tipi nggak ada perkedelnya. Malu, lah. Gimana kalau si orang miskin mau pake duit uang kagetnya buat beli nasi uduk, hayo?"
"Nggak mungkin, lah Bu. Mereka pasti beli emas atau TV." Aku mencoba mencari jalan keluar. Boon sudah membawaku ke depan mobil mewah yang kemarin. Kami ada di parkiran mobil sekarang.
"Nggak mau, pokoknya Ibu pengin pakai perkedel. Malu sama Soraya Rasyid."
"Sudah?" Boon mematikan kunci alarm mobil dan membukakan pintu belakang untukku.
Aku merasa diburu-buru jadinya aku menutup telepon itu. "Ya udah, entar Neneng cari ide." Kemudian kututup telepon dan mulai gelisah mencari alternatif perkedel. Aku malah berdiri saja di luar, bukannya masuk ke dalam mobil.
"Mau masuk?"
"Oh." Aku langsung maju hendak masuk ke jok belakang, kemudian aku berhenti. "Aku ... aku nggak bisa duduk di depan aja?"
"Kenapa?"
"Aneh aja rasanya. Kayak naik taksi." Aku nggak terbiasa naik taksi, jujur saja. Keluargaku nggak punya mobil. Kalau naik GrabCar pun, pasti isinya banyakan karena berangkat rame-rame. Rasanya nggak pantas aku duduk di jok belakang mobil mewah sementara cowok yang penampilannya lebih oke dibandingkan seluruh laki-laki di keluargaku tujuh turunan ini menyetir mobilnya. Aku bukan putri raja.
Boon terkekeh kecil mendengarku menyebutkan taksi. "Terserah Neneng di mana aja boleh."
"Ih!" Aku memukul lengan Boon dengan gemas gara-gara dia memanggilku Neneng. Laki-laki itu tergelak sambil membukakan pintu penumpang jok depan, mempersilakanku masuk, kemudian mengitari mobil dan masuk juga. Sebelum Boon mengatakan apa pun, buru-buru aku memberikan klarifikasi, "Namaku Monika, kok. Cuma di rumah aku sering dipanggil ..., ngng ..., Neng Monika. Kayak orang Sunda. Ada nengnya."
"Ya udah. Gapapa. Mau nama kamu Robert juga, saya mah nggak masalah."
Kupukul lagi lengan Boon dengan gemas. Mentang-mentang imut, jadinya aku kesulitan ngambek kepada Boon. Mukanya itu, lho. Apa, ya ...? Mungkin karena dia selalu bersikap ramah dan hangat kepadaku—nggak seperti Raven yang memberi pernyataan jelas bahwa dia raja seluruh dunia—jadinya aku bisa merasa dekat dengan Boon. Mau marah pun jadi nggak bisa.
![](https://img.wattpad.com/cover/220705221-288-k838188.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...