Aku sedang mempertimbangkan mengganti namaku menjadi Nikita. Ya. Seperti di film-film itu. Seorang agen mata-mata Rusia dengan rambut pirang pendek dan gaun hitam yang di bagian dalamnya ada dua buah pistol direkatkan ke paha. Kalau sedang memburu penjahat, Nikita akan melompat ke motor besar (seperti motornya Boon), mengenakan helm full face warna hitam, lalu melaju di jalanan New York dengan rambut berkibar-kibar diterpa angin.
Kurasa aku cocok menjadi Nikita.
Kecuali, rambutku. Rambutku hitam, karena ini wignya Revalina. Dan bajuku warna pink (bajunya Asih). Tidak ada pistol direkatkan ke paha. Pun aku mengendarai motor Mio mungil punyanya Asih.
Itu pun dibonceng oleh Asih karena aku tidak bisa mengendarai motor.
Jadi, rambutku tidak berkibar-kibar diterpa angin karena Asih melaju 25 km/jam saja. Padahal jalanannya kosong.
Malam ini Raven mengonfirmasi untuk menemuiku secara sembunyi-sembunyi. Revalina meminjamkanku wig hitam untuk menyamarkan diri. Aku merasa gembira sekali, karena sudah lama aku nggak pake wig. Terakhir kali aku pake wig, aku mengenakannya di bagian belakang kepala, berbentuk gelungan rambut, disematkan ke rambutku yang dicepol, dan aku memakai kebaya. Saat itu kalau nggak salah perayaan Hari Kartini.
Sassy merias wajahku dengan eye shadow berwarna gelap, membuatku tampak seperti mata-mata Rusia di film James Bond. Di situlah aku yakin namaku harus berganti menjadi Nikita. Asih lalu meminjamkanku gaunnya yang berwarna pink, hanya supaya aku nggak kelihatan seperti Monika. Bajunya Asih ini bukan aku banget, sih. Bukan Revalina banget, bukan Nadia banget. Bahkan mungkin bukan siapa-siapa banget.
"Eits ... gini-gini juga aku belinya di Bandung, lho! Di pusat fashion-nya Indonesia," bela Asih saat semua orang mempertanyakan selera fashion-nya.
"Di bagian mananya Bandung kamu beli baju ini?" tanya Sassy nggak percaya.
"Di Cimol, lah!" seru Asih dengan bangga.
Supaya nggak dideteksi Nadia, aku juga nggak mengendarai motor Boon. Aku dibonceng Asih menuju Pluit Junction, sebuah mal yang berada di pintu keluar Tol Pluit. Karena Asih melaju lambat sekali, aku terlambat lima menit dari janji temuku bersama Raven. Untungnya ketika aku sampai, Raven belum berada di sana. Dia mengirimku pesan bahwa dirinya masih terjebak macet di Mangga Dua, jadi aku diminta memesan satu ruangan di Inul Vizta lalu menunggu di sana.
Jangan kasih tahu siapa pun ruanganmu di mana. Hanya saya yang boleh tahu, kata Raven di Whatsapp.
Aku merasa berdebar sekali. Rasanya seperti mata-mata betulan, masuk ke sebuah ruangan tapi nggak boleh memberi tahu ruangannya yang mana. Karena kalau sampai musuh tahu, nanti akan terjadi baku hantam di Inul Vista, di mana aku harus menghajar para penjahat berjas hitam seraya aku berguling-guling di lorong Inul Vizta yang sempit, lalu Arnold Schwarzenegger muncul dan semua orang ditembaknya.
Eh, jangan Arnold Schwarzenegger. Terlalu halu.
Shahrukh Khan saja.
Dengan kooperatif aku membalas, Roger. Ruangannya yang mana?
Whatever, jawab Raven.
Aku pun masuk ke dalam sebuah mal yang tampaknya lebih sepi dibandingkan mal di seberangnya, Emporium. Bagaikan mata-mata di film, aku fokus pada tujuan utamaku: Inul Vizta. Aku berjalan menuju eskalator dan bangga pada diriku sendiri karena aku nggak terdistraksi oleh apa pun. Bahkan meski koleksi baju yang ada di atrium sana tampak cute. Murah-murah, pula. Rp199.000 untuk tiga potong! Ada gaun merah yang lucu, gamis berpayet untuk ibuku, dan mungkin aku mau beli jaket bulu-bulu itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/220705221-288-k838188.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...