Jeno membuka mata ketika ada seseorang yang mengguncang bahunya. Jarang sekali ada orang yang mau membangunkannya ketika ia tertidur di dalam kelas. Jeno menegakkan badan, kepalanya sedikit pusing karena perubahan posisi secara tiba-tiba.
"Akhirnya bangun juga."
"Udah pulang ya?" Jeno nampak ling-lung.
"Udah, ayo pulang."
"Lo cewek aneh yang ketemu gue tadi pagi kan? Ngapain duduk disini?" tanya Jeno.
"Gue murid baru, kata wali kelas nggak ada bangku kosong lagi selain disini."
"Oh," balas Jeno kemudian memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Gue belum tau siapa nama lo."
"Jeno."
"Salam kenal, Jeno. Nama gue Park Siyeon."
"Nggak nanya," ucap Jeno lalu bangkit dari tempat duduknya.
"Tunggu!"
Jeno spontan berhenti dan berbalik.
"Gue boleh pinjem catetan pelajaran yang kemarin-kemarin nggak?"
"Hm," balas Jeno singkat kemudian melangkahkan kakinya keluar kelas.
Siyeon membuntuti Jeno dari belakang, sebenarnya ia ingin banyak mengobrol dengan teman sebangkunya itu, namun ia terlalu takut karena Jeno terlihat tidak bersahabat sama sekali.
Langkah Jeno tiba-tiba terhenti yang membuat Siyeon ikut berhenti. Laki-laki itu berbalik, membuat Siyeon menjadi salah tingkah.
"Lo ngikutin gue?" tanya Jeno dengan nada dinginnya.
"E-enggak, jalan keluar sekolah kan memang ini aja," balas Siyeon.
Jeno menyingkir dua langkah ke samping kiri, "Kalo gitu ngapain diem? Sana pulang."
"Lo bener-bener ngira kalo gue ngikutin lo? Nggak punya kerjaan banget!" kesal Siyeon kemudian berjalan cepat melewati lelaki itu.
Jeno hanya mengangkat bahu kemudian berjalan dengan santai menuju gerbang sekolah.
"Eits, mau kemana lo anak miskin?"
Jeno menahan napas ketika suara si sialan Haknyeon memasuki rungunya.
Bugh!
Jeno tentu saja terkejut ketika iblis itu menendang perutnya tanpa basa-basi.
"Tadi pagi lo ngetawain gue kan?" tanya Haknyeon. Jeno menggeleng.
"Dia bohong, Bos! Gue liat sendiri dia ketawa!" seru Felix.
"Bangsat," gumam Jeno.
"APA KATA LO?!" bentak Felix. Lagi-lagi Jeno hanya menggeleng.
Haknyeon menarik kerah seragam Jeno kemudian mendaratkan beberapa pukulan di wajah lelaki itu.
Jeno tersungkur ke tanah, tak ada perlawanan sama sekali. Saking seringnya, ia sampai sudah kebal dipukuli seperti ini.
"Itu, Pak!"
Semua orang yang ada disana sontak menoleh pada seorang gadis yang tiba-tiba datang bersama Pak Satpam.
"Begundal!! Pulang kalian!! Atau mau bapak aduin kepsek?!" ancam Pak Satpam.
Trio Juleha cepat-cepat mengambil motornya dan bergegas pergi daripada harus disidang kepala sekolah.
Jeno menatap datar Siyeon yang berjalan menghampirinya.
"Sini, biar gue bantu."
Jeno menghindar ketika gadis itu hendak menyentuhnya.
"Kenapa?" tanya Siyeon.
"Jangan sok baik deh lo jadi orang," sarkas Jeno lantas pergi meninggalkan Siyeon yang masih mematung di tempatnya.
Jeno berjalan sendirian menyusuri trotoar, keringat bercucuran di keningnya mengingat panasnya udara siang ini. Ia melepas jas almamaternya dan menggunakannya sebagai payung agar wajahnya tidak berubah menjadi merah karena terpapar sinar matahari secara langsung.
Sialnya, ia tak bisa bekerja hari ini karena badannya sakit akibat dipukuli trio Juleha. Yang ia inginkan saat ini hanya cepat-cepat sampai di rumah, minum air dan langsung beristirahat. Kerongkongannya terasa kering, ya setidaknya air minum masih gratis si rumahnya.
Lelaki itu selalu berjalan kaki jika pulang sekolah, ia tak bisa naik kendaraan umum karena ia harus berhemat jika tidak mau tidur dengan keadaan perut kosong.
Jeno melangkahkan kaki memasuki rumahnya, ralat rumah ayah tirinya. Tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi tempat tinggal.
Ia harus membayar biaya sewa kamar setiap bulan dan juga harus membersihkan rumah jika tak mau diusir dari rumah itu. Sang bunda sengaja tidak memperkerjakan asisten rumah tangga karena sudah ada putranya yang membersihkan rumah setiap hari.
"Kakak!" Suara cempreng itu memenuhi seluruh rumah ketika Jeno baru saja melangkahkan kakinya di ruang tamu.
Gadis itu langsung berlari menubruk tubuh Jeno dan memeluknya dengan erat.
Jeno meringis karena perutnya masih terasa sakit dan sang adik memeluknya erat sekali.
"Kakak kok lama banget pulangnya?"
"Tumben nungguin, pasti ada maunya nih," tebak Jeno.
Lami melepas pelukannya kemudian menatap sang kakak, "Ya ampun! Ini muka Kakak kenapa biru-biru?!"
Jeno menutupi lebam di wajahnya dengan kedua tangan, "Nggak apa-apa. Tadi kepentok pintu."
Lami menghela napas, "Kakak dipukulin lagi?"
Jeno menghela napas kemudian mengangguk pelan, tak ada gunanya berbohong pada gadis yang berstatus sebagai adik tirinya itu.
"Apa sih susahnya bilang kalo Kakak itu anak orang kaya? Sampe kapan Kakak mau ditindas kayak gini?"
"Kakak haus, bisa minta tolong ambilin air?" Jeno mengalihkan pembicaraan.
Lami mendengus, kakaknya itu selalu saja begitu jika ia mulai menceramahinya. Usia yang hanya terpaut satu tahun membuat mereka begitu dekat, walau kadang sang bunda membatasi hubungan antara mereka berdua.
"Enak ya santai-santai, cepet bersihin kamar mandi!" Bentakan Bunda sontak membuat Jeno menganggukkan kepalannya.
"Kak Jeno mau bantuin aku buat tugas matematika, Bun," ucap Lami yang baru datang dari dapur sembari membawa segelas air.
"Oh, yaudah. Habis itu inget bersihin kamar mandi."
Jeno mengangguk dengan kepala tertunduk. "Iya, Bunda."
🍃🍃🍃
Tbc...
Selamat malam minggu, masih di rumah aja kan? Sama:')
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Fanfiction"Hahaa!! Liat nih gue dikasi minjem jaket sama cowok!!" "Terus? Gue harus bilang WOW gitu?" "Bilang aja lo cemburu. Iya kan, iya kan??" "Nggak." "Tuhkan! Orang cemburu mana ada yang mau ngaku." "Dih, pede banget lo jadi orang." Mampukah seorang Par...