Menurut Jeno, hari ini merupakan hari paling baik selama seminggu ini karena Siyeon lebih banyak diam ketimbang hari-hari biasanya. Ia pun tak tau kenapa gadis itu tiba-tiba jadi pendiam. Ia juga tidak peduli yang penting hidupnya tenang.
"Jeno, kapan mau latihan lagi?" tanya Siyeon.
"Serah," balas Jeno yang sedang sibuk merapikan buku.
"Sekarang ini bisa?"
"Kaki lo masih borok gitu mau latihan? Punya otak?" sarkas Jeno.
"Tapi, besok kita udah harus tampil."
"Mending gue dapet nilai seni jelek deh daripada harus tampil bareng lo. Gue udah bilang kan kalo gue nggak bisa nge-dance," ucap Jeno kemudian memakai ranselnya.
Siyeon menghalangi Jeno yang hendak pergi. "Ini nilai pertama gue, Jen. Nanti kalo nilai seni gue jelek gimana?"
"Bodo amat."
Cepat-cepat Siyeon meraih tasnya dan mengejar Jeno yang sudah keluar kelas.
"Jen, gue minta tolong. Kali ini aja, please."
Jeno tak mempedulikan gadis itu, ia malah mempercepat langkahnya.
"Jeno! Apa perlu gue berlutut di hadapan lo supaya lo mau bantuin gue?!" kesal Siyeon.
"Denger ya, lo mau berlutut sambil mohon-mohon pun gue nggak akan pernah sudi bantuin lo!"
"Terus, gue harus gimana?" pelan Siyeon.
Jeno mengangkat bahu, "Pikir aja sendiri."
"Kakak!"
Jeno dan Siyeon spontan menoleh ke sumber suara. Dilihatnya seorang gadis tengah berlari menghampiri mereka.
"Ini siapa, Kak?" tanya Lami sembari menunjuk Siyeon.
"Nggak tau, nggak kenal," balas Jeno dengan santai.
"Ayo pulang bareng, Kak."
"Kamu duluan aja ya, Kakak masih ada urusan."
"Tapiㅡ"
"Udah, sana duluan. Udah ditungguin tuh." Jeno menunjuk driver keluarganya yang sudah menunggu di depan gerbang.
"Yaudah, Kakak hati-hati ya."
Jeno tersenyum tipis, "Iya."
Siyeon hanya diam di tempat, memperhatikan percakapan kakak beradik itu. Bahkan sampai Lami pergi pun, ia masih mematung di tempatnya.
"Itu adik lo?" tanya Siyeon.
"Bukan urusan lo," ketus Jeno kemudian pergi.
Siyeon tentu saja tidak menyerah semudah itu, ia berjalan mengikuti Jeno, walaupun dengan tertatih.
"Rumah lo dimana?" tanya Siyeon.
Jeno tak menanggapi ucapan gadis itu, pandangannya pun lurus ke depan.
"Gue boleh main ke rumah lo?"
"Lo kalo di rumah, cuek gini juga nggak?"
"Pasti rumah lo bagus banget ya?"
"Oh, iya. Sekarang lo kerja ya?"
Siyeon menghela napas berat, "Jeno, ngomong dong. Jangan cuma diem aja."
Jeno menghentikan langkahnya dan menatap Siyeon lamat-lamat. "Bisa nggak berhenti ngikutin gue?"
"Please, bantuin gue Jeno. Gue.. gue janji nggak akan gangguin lo habis ini."
"Serius?"
Siyeon mengangguk, "Iya, serius."
"Yaudah." Jeno memutar balik dan kembali menuju sekolah untuk latihan dance dan Siyeon mengikutinya dengan perasaan gembira.
...
"Jeno, kakinya kurang di buka," ucap Siyeon.
Jeno menghela napas dan hanya bisa menuruti perintah gadis yang ada di hadapannya.
"Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan." Siyeon tersenyum melihat kemajuan Jeno menari. "Bagus!"
"Udah? Gitu doang kan?" tanya Jeno.
Siyeon mengangguk, "Sekarang kita coba pake musiknya."
Lagu Youth milik Troye Sivan menggema di seluruh ruangan kelas. Jeno dan Siyeon mengambil posisinya masing-masing dan bergerak lembut mengikuti alunan lagu yang terputar.
Siyeon tersenyum ketika dirinya berhadapan dengan Jeno. Apalagi mendekati ending, ia jadi gugup sendiri ketika lelaki itu merengkuh pinggangnya dari belakang, deruan napas Jeno bahkan terasa begitu jelas di tengkuknya.
Namun, keindahan itu tidak berlangsung lama karena Jeno dengan cepat mendorong tubuh Siyeon menjauh.
Siyeon spontan meringis, beruntung gadis itu tidak sampai terjatuh.
"Udah kan? Gue balik duluan."
"T-tunggu!"
"Ck, apalagi?" tanya Jeno dengan malas.
"Kita coba sekali lagi."
"Yaudah, cepetan!"
Siyeon tersenyum manis, entah kenapa ia merasa senang sekali saat bersama Jeno. Ia bahkan sengaja mengulur waktu dengan alasan musiknya tidak bisa menyala yang membuat Jeno geram setengah mati.
"Ini bisa," ucap Jeno.
Siyeon menggaruk tengkuknya, "Hehe, tadi nggak bisa."
Jeno mendecak kemudian mencari posisinya semula.
Cara Siyeon selanjutnya untuk mengulur waktu adalah dengan cara lupa gerakan.
"Ish, kenapa bisa tiba-tiba lupa?!" kesal Jeno.
"Bentar! Diem lo! Gue jadi lupa lagi kan!"
Jeno menyilangkan tangannya di depan dada dan memperhatikan Siyeon yang sibuk sendiri.
Setelah berhasil mengulur waktu beberapa menit dengan alasan lupa gerakan, sekarang Siyeon malah pura-pura terjatuh.
"Jeno.. sakit," ucap Siyeon sambil memegangi lututnya.
"Gue udah muak." Jeno meraih ranselnya. "Lo daritadi sengaja kan ngulur waktu? Mau lo sebenarnya apa sih?"
Siyeon bangkit, "Gue cuma mau temenan sama lo."
Jeno mendecih, "Bukannya gue udah bilang kalo gue nggak sudi temenan sama lo?"
"Lo kenapa sih? Gue kurang baik apa sama lo?!"
"Gue lebih suka sendiri, clear?"
Siyeon menatap Jeno lamat-lamat, "Egois."
"Terus kenapa kalo gue egois? Memangnya ada yang peduli?"
"Gue peduli!"
Jeno mendorong pundak Siyeon hingga gadis itu terhuyung ke belakang. "Nggak usah repot-repot peduli sama gue."
Kedua tangan Siyeon terkepal, ia menatap nanar Jeno yang berjalan keluar kelas.
🍃🍃🍃
Tbc...
Terima kasih sudah membaca💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Fanfiction"Hahaa!! Liat nih gue dikasi minjem jaket sama cowok!!" "Terus? Gue harus bilang WOW gitu?" "Bilang aja lo cemburu. Iya kan, iya kan??" "Nggak." "Tuhkan! Orang cemburu mana ada yang mau ngaku." "Dih, pede banget lo jadi orang." Mampukah seorang Par...