Pemuda berusia 17 tahun tengah berjalan terseok-seok menelusuri trotoar di malam yang gelap ini. Ia tidak sendirian, ada seorang gadis yang terkulai lemah di punggungnya dengan tubuh yang penuh luka, sungguh pemandangan yang menyayat hati.
Beruntung Jeno datang tepat waktu. Orang-orang sialan itu hampir saja membunuh gadisnya jika ia tidak cepat-cepat datang. Lelaki itu bahkan sempat bergulat hebat hingga mengakibatkan wajahnya babak belur dan kaki kanannya yang terluka karena sempat tersayat pisau.
"Jeno.. sakit.." Rintihan menyakitkan itu terdengar dari bibir Siyeon.
"Tahan ya, sebentar lagi sampai kok," ucap Jeno.
Sepertinya sang malam tidak berpihak pada kedua insan itu. Rintik hujan mulai turun membasahi bumi, membuat malam ini semakin dingin. Tak peduli dengan kakinya yang tengah terluka, Jeno berlari secepat mungkin untuk berteduh dari serbuan hujan yang turun tanpa aba-aba. Mereka kini tengah duduk di emperan toko yang sudah tutup. Suasana sepi dan mencekam pun menyelimuti mereka berdua.
Jeno menatap Siyeon yang menggigil di sebelahnya. Dengan segera ia melepaskan jaketnya lalu memakaikannya pada Siyeon. Ia tak mau kondisi gadis itu bertambah buruk karena kedinginan.
Jeno memeluk Siyeon, seakan tak membiarkan sang bayu mengenai tubuh gadisnya. Ia tak ingin luka-luka bekas cambukan di tubuh Siyeon bertambah perih terkena tetesan air hujan atau hembusan angin.
"Jauh lebih baik?" tanya Jeno.
Siyeon mengangguk lemah di pelukan Jeno.
Jeno mengusap lembut kepala gadisnya sembari berharap hujan segera reda, hatinya benar-benar tersayat melihat kondisi Siyeon yang buruk seperti ini.
Jeno memperhatikan Siyeon yang tertidur di pelukannya, ia sangat menyayangi gadis itu. Tapi, entah kenapa Tuhan seakan tidak memberikan jatah kebahagiaan untuknya. Ingin sekali ia meminta pada Tuhan untuk memindahkan semua sakit yang dirasakan Siyeon padanya.
06.30 a.m.
Jeno benar-benar terjaga semalaman, ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada gadisnya ketika ia tertidur. Semalaman suntuk, ia pun tak henti-hentinya memperhatikan wajah Siyeon yang tertidur pulas.
"Hng.. Jeno.." Siyeon mulai bergerak dan membuka matanya.
"Akhirnya bangun juga," ucap Jeno.
"Ini dimana?"
"Di pinggir jalan."
"Kalo di tengah jalan udah ditabrak kali."
Jeno terkekeh pelan, "Gimana? Masih sakit?"
Siyeon menganggukkan kepala.
"Hujannya udah reda. Ayo pulang."
Jeno membantu Siyeon berdiri dan memerintahkan gadis itu untuk naik ke punggungnya.
"Nggak apa-apa, Jen? Gue bisa jalan kok," ucap Siyeon karena tak tega melihat Jeno yang sepertinya kesusahan menggendongnya.
"Nggak apa-apa, santai aja," balas Jeno yang terus tetap berjalan meskipun kaki kanannya sudah mati rasa.
Siyeon menyandarkan kepalanya pada bahu Jeno, "I love you."
"Hm."
"Bales kek, ham hem ham hem," protes Siyeon.
"Too."
"Ihh!! Yang lengkap, Jeno!"
"I love you too."
Siyeon tersenyum senang kemudian mengeratkan pegangannya pada Jeno.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kedua remaja itu akhirnya sampai juga di tempat tujuan.
"Darimana kalian?" Suara itu menusuk telinga ketika Jeno baru saja menurunkan Siyeon di depan rumahnya.
"Hng, Kak Jihoon.. Siyeon.."
"Bi, bawa dia masuk," titah Jihoon pada asisten rumah tangganya.
"Tapi, Kak- Jeno-"
Siyeon tak bisa berkutik ketika si Bibi memaksanya untuk masuk ke dalam.
"Kamu bawa kabur kemana adik saya?" tanya Jihoon.
"Maaf, Kak. Saya bukannya-"
Bugh!
Belum sempat Jeno menjelaskan, Jihoon sudah memukulnya hingga ia tersungkur ke tanah. Sudut bibir yang awalnya lebam pun kini mengeluarkan darah.
"KAMU APAIN ADIK SAYA HAH? KENAPA DIA BISA LUKA-LUKA GITU?!"
"Itu-"
Ucapan Jeno terpotong karena Jihoon lagi-lagi mendaratkan sebuah pukulan di wajahnya. Ia meringkuk di tanah, rasanya sakit sekali.
"Jangan dekati adik saya lagi!" ucap Jihoon kemudian pergi meninggalkan Jeno yang masih merintih kesakitan.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Jeno berusaha bangkit walaupun rasanya sakit luar biasa.
Jeno yang wajahnya sudah tidak berbentuk lagi, berjalan dengan terseok pulang ke rumah. Penampilannya bahkan mirip zombie di film Train to Busan. Maap guys perumpamaannya terlalu ironi wkwk.
Jeno yang baru saja melangkahkan kakinya di rumah sontak membuat seluruh penghuni rumah bergidik ngeri, namun sepertinya rumah itu hanya dihuni oleh iblis berbentuk manusia saja. Seakan tak punya hati, Bunda menampar pipi Jeno dengan keras.
"Dasar manusia nggak punya otak!" teriak Bunda.
Jeno yang saat itu tengah terduduk di lantai hanya bisa menunduk.
"Asal kamu tau, kamu hampir bunuh Lami tadi malam!!"
Kedua tangan Jeno terkepal kuat, kenapa semua orang hanya bisa menyalahkannya?
Bunda tak segan menendang punggung Jeno yang sudah kesakitan itu. "Anak nggak tau diuntung! Bisanya nyusahin orang tua aja!!"
Jeno bergeming, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah mati, mati dan mati. Jujur saja, ia sudah muak dengan orang-orang yang ada di dunia ini.
Pemuda itu sedikit terkejut ketika ayah tirinya menarik kerah bajunya sampai ia berdiri.
"BAJINGAN!! KAMU MAU BUNUH ANAK SAYA?!" bentak Ayah.
Jeno membuang muka, enggan menatap sang ayah.
"LEE JENO BANGSAT!!"
Bugh!!
Bugh!!
Pukulan bertubi-tubi dilayangkan pada tubuh Jeno yang sudah mati rasa. Lelaki itu tersungkur di lantai dengan darah yang merembes dimana-mana.
Sesaat sebelum Jeno tak sadarkan diri, ia sempat berdoa agar Tuhan mengambil nyawanya secepat mungkin.
🍃🍃🍃
Tbc...
Pada keras-keras ya mukulnya, kalo jeno mati gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Fanfiction"Hahaa!! Liat nih gue dikasi minjem jaket sama cowok!!" "Terus? Gue harus bilang WOW gitu?" "Bilang aja lo cemburu. Iya kan, iya kan??" "Nggak." "Tuhkan! Orang cemburu mana ada yang mau ngaku." "Dih, pede banget lo jadi orang." Mampukah seorang Par...