17. Dad🍃

1K 183 28
                                    

"Ayo, Kak!"

Jeno menahan tangan Lami yang hendak menariknya keluar, "Nggak usah. Kakak makan disini aja."

"Ck, nggak mau! Pokoknya Kakak harus makan bareng!"

"Lami.. nggak usah ya?"

"Ayo!!"

Lami menarik tangan Jeno sampai ke meja makan. "Ayah, Bunda.. Kak Jeno boleh kan ikut makan sama-sama?"

Hening beberapa saat sebelum Ayah bersuara, "Iya, boleh."

"Tuh, denger sendiri kan, Kak?" tanya Lami.

Jeno hanya mengangguk pelan, diam-diam ia melirik Bunda yang menatap tajam ke arahnya.

"Ayo, duduk disini, Kak!"

Ragu-ragu Jeno menarik kursi yang ada di sebelah Lami, ia duduk tepat dihadapan sang bunda.

Akhirnya makan malam perdana bagi Jeno pun dimulai. Bunda mengambilkan nasi beserta lauk untuk Ayah dan Lami, namun tidak untuk Jeno, piring lelaki itu bahkan masih bersih.

Sementara itu, Jeno hanya menunduk, untuk menggerakkan jari saja ia tak berani.



"Kok diem? Ambil aja makanannya, nggak apa-apa," ucap Ayah.

Jeno mengangguk pelan. Dengan tangan sedikit bergetar, ia mengambil nasi yang tak seberapa ditambah dengan sayuran yang sedikit sekali.

"Kak Jeno diet ya?" tanya Lami.

"Hng.. iya," pelan Jeno.

"Udah kurus gini sok-sokan diet, nanti jadi lidi baru tau rasa," ucap Lami.

Jeno terkekeh pelan, sialnya suasana ini malah membuatnya mual dan tidak berselera makan sama sekali.

Beberapa saat berlalu, keluarga kecil itu sudah selesai makan malam dan Jeno yang merapikan piring-piring kotornya.

Jeno sedang fokus mencuci piring ketika Bunda datang menghampirinya.




"Gimana rasanya ikut malam gratis? Enak?" tanya Bunda sarkas.

"Enak, Bunda," balas Jeno seadanya.

"Jangan seneng dulu. Karena sekarang kamu bakal terus dapet makan gratis, jadi uang sewa kamar naik ya."

Jeno berhenti dari kegiatannya kemudian menatap sang bunda.

"Kenapa? Mau protes?" tanya Bunda. "Protes sana sama si Donghae yang brengsek itu. Katanya sih dia mau biayain hidup kamu, tapi mana? Nggak bertanggung jawab banget sih jadi cowok."

Jeno hanya diam, bingung mau merespon apa.

"Untung Bunda ini cantik, ayahnya Lami jadi tergoda deh sama Bunda. Nggak usah repot-repot kerja juga bisa jadi orang kaya haha."

"Bunda, Jeno permisi ke kamar dulu," ucap Jeno lalu melenggang pergi.

"Inget ya, uang sewa kamar naik!"





...





"Koran!"

Jeno menatap datar Siyeon yang baru saja membuka pintu gerbang. Kedua remaja itu masih kemusuhan dan sepertinya semakin parah. Seperti biasa, Jeno akan memberikan koran dan Siyeon memberi bayaran uang kepada lelaki itu.

"Oh iya, tunggu sebentar ya. Gue mau ngasi lo snack yang gue bilang waktu itu," ucap Siyeon.

Jeno tersenyum sinis, "Nggak usah. Gue bukan pengemis."

"Heol, pengemis aja rasanya lebih beretika daripada lo."

"Makasih," ucap Jeno kemudian pergi.

Jeno mengayuh sepedanya dengan perasaan kesal, "Ngeselin banget jadi cewek. Gue sumpahin pantatnya bisulan."

Lelaki itu memarkirkan sepedanya di kawasan sungai Han. Korannya sudah habis dan ia ingin istirahat sejenak.

Jeno duduk di salah satu kursi yang ada disana. Ia memakai earphone dan menyalakan lagu kesukaannya.

Sembari komat-kamit mengikuti lagu yang terputar di earphone, Jeno menikmati pemandangan sungai Han yang menurutnya sangat indah. Air yang tenang itu sering kali menggodanya, sehingga beberapa kali ia pernah berpikir untuk masuk kesana.

Bukankah semua penderitaannya akan hilang jika ia masuk ke dalam sungai itu?

Tak jarang ia melihat orang bunuh diri di sungai ini ketika ia pulang bekerja pada malam hari. Jeno hanya memperhatikan orang-orang itu karena entah kenapa ia yakin, suatu saat pasti dirinya yang berdiri disana dan menjatuhkan tubuhnya begitu saja ke sungai ketika sudah terlampau lelah.

Jeno tersentak ketika ada seorang pria paruh baya yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.




"Lee Jeno? Ini kamu, Nak?"

Jeno mengernyitkan dahinya, menatap pria itu lamat-lamat. "A-ayah?"

Lee Donghae memeluk Jeno seerat mungkin. "Ternyata kamu udah besar ya."

Jeno melepas paksa pelukan sang ayah. "Iya. Kenapa Ayah bisa ngenalin Jeno?"

Pria itu menunjuk tahi lalat kecil yang ada di bawah mata Jeno, "Ini, nggak banyak orang yang punya. Dan naluri Ayah juga nggak bisa dibohongi."

Jeno hanya mengangguk.

"Gimana kabar kamu? Masih tinggal sama Bunda?"

Lagi-lagi Jeno hanya mengangguk. Entah kenapa bertemu dengan ayah kandungnya yang sudah bertahun-tahun menghilang itu rasanya biasa saja, tak lebih dari sekedar bertemu dengan orang asing.

Donghae mengusap lembut kepala Jeno, "Kamu ganteng banget."

Sementara itu, Jeno hanya terkekeh geli dan juga masih canggung dengan ayahnya itu.

"Maaf ya, selama ini Ayah udah nelantarin kamu."

Jeno menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Iya. Jeno pamit pulang dulu ya, Yah."

"Loh? Kok buru-buru? Ayah masih kangen sama kamu."

"Hng.. takutnya Bunda nyariin."

Donghae menghela napas pelan, "Nggak mau mampir dulu ke rumah Ayah? Sekarang Ayah tinggal sendiri."

Jeno merasa iba melihat raut wajah Donghae yang berubah sendu, "Yaudah, Jeno mampir tapi nggak bisa lama-lama ya."

Donghae mengangguk kemudian merangkul putranya itu untuk pergi ke rumahnya.

Setelah berjalan kurang lebih 20 menit, akhirnya ayah dan anak itu sampai di sebuah gubuk kecil yang ada di sudut kota.




"Ayah tinggal disini?" tanya Jeno. Matanya sibuk mengamati lingkungan yang nampak kumuh baginya.

"Iya, ayo masuk!"

Jeno pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam dan mendudukkan dirinya di lantai karena tidak ada satupun kursi yang ada.

"Ini, minum dulu."

"Makasi, Yah." Jeno meminum air putih yang disuguhkan Donghae.

"Jeno sekarang masih sekolah ya?"

"Iya."

"Gimana sekolahnya? Anak ayah pasti dapet peringkat kan di sekolah?"

Jeno tersenyum kecut, "Cuma peringkat 20, Yah. Apa yang bisa dibanggain?"

"Jeno belajar yang rajin ya biar nanti jadi orang sukses. Pokoknya Jeno nggak boleh jadi kayak Ayah."

Jeno menatap sang ayah lamat-lamat, kemudian kepalanya tertunduk perlahan. Sial, perasaan apa ini? Ia tidak boleh menangis di depan ayahnya.

Donghae mengusap lembut kepala Jeno, "Jeno juga harus jadi cowok yang baik ya, Nak. Jangan suka mainin perempuan."

"Iya, Yah," pelan Jeno.

"Ayah sayang sama Jeno."

"Hm.."

🍃🍃🍃












Tbc...

Duh, kalo udah ngomongin bapaknya si Jeno pasti langsung kepikiran sama Donghae hmm semoga nggak bosen ya guys💕

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang