Rasa sakit menjalar di tubuh Jeno ketika ia baru saja membuka mata.
Kenapa gelap?
Iya, karena lampu kamarnya dimatikan.
Jeno menghela napas kemudian memperhatikan sekeliling. Bau klorofom yang menyengat menandakan bahwa ia sedang ada di rumah sakit saat ini.
Lelaki itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Sial, kenapa ia tidak langsung mati saja?
Pun, ia tidak mau berada disini. Bunda pasti akan menagih biaya rumah sakit selepas ini, ia harus cepat-cepat pergi.
Diawali dengan melepas infus di tangannya, Jeno bertekad untuk kabur malam ini juga.
Sekuat tenaga ia mencoba bangkit dan usahanya membuahkan hasil. Jeno berhasil berdiri dengan berpegangan erat pada ranjang. Kaki kanannya masih terasa sakit dan dibalut perban.
Dengan pincang, ia berjalan menuju pintu. Membukanya dengan pelan karena tak ingin membangunkan pasien yang lain.
Jeno berjalan tertatih di lorong rumah sakit yang sepi, sesekali ia terjatuh karena kakinya yang tak mampu menopang tubuh.
Lelaki itu melihat jam dinding yang ada lobi. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari dan beberapa staf rumah sakit sedang tertidur, ini waktu yang tepat untuk kabur.
Jeno berjalan dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara sama sekali. Ia tak pernah menyangka bahwa kabur dari rumah sakit akan semudah ini, beda seperti adegan-adegan di drama yang sering Siyeon tonton.
Ditemani dinginnya malam, Jeno berjalan menyusuri trotoar. Lelaki itu sempat berhenti di sungai Han. Entah untuk keberapa kalinya air sungai itu menggodanya untuk masuk kesana.
"Jeno, janji ya lo harus bertahan."
Suara Siyeon tiba-tiba terlintas di benaknya ketika ia hampir saja mengakhiri hidupnya disana.
"ARGHH!!!"
Jeno berteriak sekeras mungkin untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Lelaki itu jatuh bersimpuh di tanah sembari memperhatikan sungai Han yang nampak tenang.
Cukup lama ia memperhatikan air sungai itu sampai akhirnya ia memilih bangkit dan pergi dari sana.
Jeno berjalan memasuki lingkungan yang sudah tidak asing lagi baginya. Jalanan cukup sepi mengingat ini sudah jam 3 dini hari.
Tok tok tok!
Jeno mengetuk salah satu gubuk reyot yang berada disana. Ia hanya berharap sang pemilik mendengarnya dan segera membukakan pintu.
Tok tok tok!
"Ayah?" panggil Jeno.
Tok tok tok!
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya yang sepertinya belum sadar sepenuhnya.
"Hoam, siapa?"
Jeno langsung menubruk tubuh sang ayah dan memeluknya dengan erat.
"Jeno? Kamu ngapain kesini malem-malem?" tanya Donghae.
Jeno bergeming dipelukan sang ayah.
"Ayo, masuk dulu."
Jeno akhirnya melepas pelukannya dan masuk ke dalam, sementara Donghae menutup pintu.
"Ya ampun, Nak. Kamu kenapa?" tanya Donghae setelah melihat wajah putranya yang babak belur.
Jeno menggeleng pelan.
"Ayo, cerita sama Ayah."
"Jeno boleh tinggal sama Ayah?"
"Jangan. Jeno tinggal sama Bunda aja ya? Rumah Ayah jelek gini, banyak nyamuk lagi."
"Nggak apa-apa. Jeno mau tinggal sama Ayah."
Pria itu menatap Jeno yang sedari tadi hanya menunduk, "Ayah juga nggak ada kasur, masa Jeno mau tidur di lantai gini?"
"Jeno bilang nggak apa-apa, Yah."
"Yaudah, Jeno boleh tinggal disini."
Jeno tersenyum tipis kemudian berbaring di pangkuan Donghae. Perasaannya sedikit lebih baik ketika pria itu mengusap lembut kepalanya hingga membuatnya terlelap dalam mimpi indah.
🍃🍃🍃
Dengan perasaan kecewa, Siyeon pergi dari rumah Jeno. Ia sangat khawatir dengan kondisi kekasihnya itu.
"Jeno, lo kemana sih?" gumam Siyeon.
Gadis itu duduk di trotoar sembari memperhatikan motor yang berlalu-lalang. Sudah seminggu setelah kejadian itu dan Jeno seperti hilang ditelan bumi.
Siyeon sudah mencoba menghubungi lelaki itu, namun ponselnya tidak aktif sama sekali.
"Siyeon? Ngapain disini?"
Siyeon mendongak dan melihat sang kakak berdiri di hadapannya.
"Pulang sana," suruh Jihoon.
Dengan malas, Siyeon bangkit dari tempat duduknya dan berjalan pulang tanpa mempedulikan sang kakak.
Jihoon yang kala itu sedang jogging pun mengejar adiknya yang sepertinya masih marah kepadanya.
"Masih nyariin cowok itu?" tanya Jihoon.
"Hm."
"Udahlah dek, asal usulnya dia nggak jelas. Mending kamu sama Guanlin aja."
"Sekali aku bilang enggak ya enggak kak!" kesal Siyeon.
"Dek, Kakak cuma mau yang terbaik buat kamu."
Siyeon berhenti dan menatap nanar Jihoon. "Jeno yang terbaik buat aku, Kak. Ngerti?"
"Apa sih yang kamu liat dari cowok miskin itu?"
"Jeno memang miskin, tapi dia pekerja keras, enggak kayak Guanlin yang cuma bisa buang-buang duit orang tuanya! Jeno sama Guanlin jelas levelnya beda dan Jeno ada di level yang jauh lebih atas!"
Jihoon mendecih, "Bucin banget. Nanti baru kamu ngerasain kalo semua itu butuh uang, Dek."
"BISA NGGAK SIH NGGAK USAH BAWA-BAWA UANG?!! AKU BENER-BENER UDAH MUAK SAMA KAKAK!!" teriak Siyeon kemudian pergi.
"Dek? Tunggu!!"
🍃🍃🍃
Tbc...
Ini couple kapan bahagianya yak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Fanfiction"Hahaa!! Liat nih gue dikasi minjem jaket sama cowok!!" "Terus? Gue harus bilang WOW gitu?" "Bilang aja lo cemburu. Iya kan, iya kan??" "Nggak." "Tuhkan! Orang cemburu mana ada yang mau ngaku." "Dih, pede banget lo jadi orang." Mampukah seorang Par...