Pagi ini, sepertinya Siyeon masih marah dengan Jihoon. Gadis itu berjalan begitu saja melewati kakaknya yang sedang menyiapkan sarapan.
"Dek, sarapan dulu," ucap Jihoon.
Siyeon tak menghiraukannya, ia terus berjalan menuju pintu.
Gadis itu berhenti ketika Jihoon berhasil menahan pergelangan tangannya. "Kenapa?"
"Kakak minta maaf," ucap Jihoon.
Siyeon mendecak, "Iya iya."
"Biar Kakak anter ke sekolah ya?"
"Nggak usah, aku bisa sendiri."
"Dek.."
"Yaudah, cepetan!" kesal Siyeon.
Jihoon pun segera mengambil kunci mobilnya dan mengantar Siyeon ke sekolah.
Pemuda itu melirik adiknya yang sedang menyilangkan kedua tangannya di depan dada sembari menatap lurus ke depan.
"Masih marah ya?" tanya Jihoon.
Siyeon bergeming.
"Maaf ya."
Siyeon menghela napas kemudian memutar bola matanya, "Bisa diem nggak sih? Berisik!"
Jihoon akhirnya hanya bisa diam agar tidak membuat adiknya itu bertambah marah.
Tak lama kemudian, mereka pun sampai di tempat tujuan. Siyeon langsung turun tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bukannya mau menjadi adik durhaka, namun ia ingin memberi kakaknya itu pelajaran.
Langkah Siyeon tiba-tiba terhenti ketika melihat Jeno turun dari sebuah mobil. Ia juga melihat Lami turun dari mobil yang sama.
"Jeno?" panggil Siyeon.
Jeno tak memedulikan gadisnya, lelaki itu berjalan melewati Siyeon sembari menggandeng tangan Lami.
Lami bahkan sempat meledek Siyeon ketika mereka berpapasan.
Siyeon tidak boleh cemburu, hubungan Jeno dan Lami kan hanya sekedar kakak adik.
Gadis itu menghela napas pelan kemudian dengan langkah terseret berjalan menuju kelas.
Siyeon melirik Jeno yang duduk di sebelahnya. Sedari tadi, lelaki itu mengacuhkannya dan seakan tak peduli kepadanya.
"Jeno?" panggil Siyeon.
Jeno bergeming, sibuk dengan ponsel barunya.
Karena kesal, Siyeon pun mengambil ponsel itu dan melihat nama yang tertera di room chatnya, "Lami?"
"Balikin!" Jeno hendak merampas ponselnya, namun Siyeon dengan sigap menyembunyikannya.
"Lo sayang-sayangan sama Lami?" tanya Siyeon.
Jeno membuang muka.
"Jeno, jawab pertanyaan gue," ucap Siyeon.
"Kalo iya, kenapa?"
"Lo nggak mikirin perasaan gue sebagai cewek lo?"
Jeno tersenyum sinis, "Emangnya lo pernah mikirin perasaan gue sebagai cowok lo?"
Siyeon menatap Jeno dengan nelangsa, "Gue selalu mikirin perasaan lo, Jeno."
"Terus, kemarin dinner sama calon tunangan kenapa nggak izin sama gue?"
"Itu gue dipaksa dan langsung disuruh pergi sama Kak Jihoon. Perlu lo inget baik-baik kalo Guanlin bukan calon tunangan gue."
Jeno mendecih, "Terus gimana? Lebih enak dinner di restoran mewah kan daripada makan di pinggir jalan?"
"Jeno, lo sebenarnya kenapa sih?" kesal Siyeon.
"Lo yang kenapa!" geram Jeno. "Gue curiga kalo lo sebenarnya suka sama Guanlin kan?"
Siyeon terdiam. Orang yang sangat ia percayai bisa menuduhnya seperti itu?
"Kenapa diem? Bener kan?" tanya Jeno.
"Nggak ada, Jeno."
"Masa?" goda Jeno.
Siyeon mendecak, "Terus hubungan lo sama Lami apa? Lebih dari sekedar kakak adik kan?"
Sekarang giliran Jeno yang bungkam.
"Udah gue duga sih kalo lo pasti bakalan milih dia daripada gue."
"Harusnya lo sadar diri, lo udah selingkuh sama Guanlin di belakang gue kan? Bilangnya nggak suka sama dia padahal kenyataannya lo suka!"
"Harus berapa kali sih gue bilang kalo gue nggak suka sama Guanlin!"
Jeno mendecak, "Udahlah, nggak usah ngeles lagi. Tinggal ngaku aja susah banget."
Siyeon menghapus air matanya yang menetes kemudian menaruh ponsel Jeno di atas meja. "Terserah apa kata lo, yang jelas gue bener-bener kecewa sama lo."
Siyeon meraih ranselnya kemudian pergi. Ia benar-benar pergi dari sekolah, beruntung pintu gerbang sedang krodit jadi ia bisa bolos dengan mudah.
Gadis itu berjalan tak tentu arah, mengikuti langkah kakinya. Ia sama sekali tak ada keinginan kembali ke sekolah ataupun pulang ke rumah. Ponselnya juga sengaja dimatikan agar tak ada yang mengganggunya hari ini.
Langkah Siyeon akhirnya berhenti di pemakaman. Ia bersimpuh diantara kedua makam orang tuanya. Dengan air mata yang berderai di pipi, ia menatap kedua nisan itu.
Gadis itu termenung cukup lama sampai hujan turun mengguyur tubuhnya. Ia masih bergeming, enggan beranjak dari sana.
Siyeon mendongak ketika ada seseorang yang memayunginya.
"Yeon? Lo ngapain hujan-hujanan disini?!" tanya Guanlin.
Siyeon menatap Guanlin di tengah derasnya hujan, mereka baru saja bertengkar hebat tadi malam dan Siyeon seakan tak peduli dengan itu.
"Guanlin?" panggil Siyeon.
"Kenapa?"
"Gue boleh peluk lo?"
Guanlin nampak kebingungan walau akhirnya menganggukkan kepala.
Tanpa menunggu lama, Siyeon pun memeluk lelaki itu seerat mungkin, menumpahkan rasa sakit yang terpendam.
"Udah, jangan nangis." Guanlin mengusap lembut kepala Siyeon.
Sementara di bawah pohon sana, Lee Jeno yang sudah basah kuyup hanya tersenyum getir melihat semuanya.
🍃🍃🍃
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Fanfiction"Hahaa!! Liat nih gue dikasi minjem jaket sama cowok!!" "Terus? Gue harus bilang WOW gitu?" "Bilang aja lo cemburu. Iya kan, iya kan??" "Nggak." "Tuhkan! Orang cemburu mana ada yang mau ngaku." "Dih, pede banget lo jadi orang." Mampukah seorang Par...