Pagi-pagi buta Siyeon sudah datang ke sekolah dengan wajah sumringahnya. Tentu saja ia sudah tidak sabar bertemu dengan Lee Jeno. Apa mereka sudah berpacaran? Hmm entahlah, Siyeon perlu memastikan hal itu lagi kepada makhluk yg sering disebutnya bagian dari keluarga dedemit itu.
Sembari menunggu kedatangan sang pujaan hati, Siyeon pun mengerjakan tugas matematika yang semalam belum sempat ia kerjakan karena terlalu senang melihat tulisan tangan Lee Jeno di bukunya.
Benar-benar seperti orang gila, Siyeon sedari tadi senyum-senyum nggak jelas yang lantas menarik perhatian Trio Juleha yang tiba-tiba datang bagaikan tak diundang.
"Heh!"
Siyeon tersentak dan spontan menggeser posisi duduknya mendekati tembok.
"Luka lo udah sembuh?" tanya Felix.
Gadis itu meraba dahinya yang yang masih tertempel hansaplast.
"Jagoan lo mana? Kok tumben jam segini belum dateng?" tanya Felix.
Siyeon menggelengkan kepala tanda tak tau.
Trio juleha nampak menghela napas secara bersamaan.
"Please lah, kiamat udah deket. Kenapa sih kalian nggak tobat-tobat?" heran Siyeon.
"Kita kesini emang mau ngajak lo berdua damai," ucap Haknyeon. "Lo liat nih, muka kita jadi babak belur gini gara-gara cowok lo."
Hati Siyeon berdesir mendengar ucapan Haknyeon, apa tadi katanya? Cowok lo? Hmm sungguh meresahkan.
"Heh! Gila lo ya? Malah senyum-senyum sendiri." Ucapan Hwall lantas menyadarkan Siyeon dari halusinasinya.
"Iya, nanti gue sampein niat baik kalian ke Jeno," ucap Siyeon.
"Eh, btw lo ada duit nggak?" tanya Haknyeon.
Siyeon mendengus, "Katanya mau tobat?"
"Ya iya, pinjemin dulu lah cepe Yeon. Kita nggak bawa uang jajan nih."
"Ish!" Karena iba dengan wajah memelas Trio Juleha akhirnya Siyeon pun meminjamkan mereka uang. "Awas aja nggak dikembaliin!"
"Iya, santuy aja Yeon sekarang kan kita friend," ucap Felix dengan tak tau dirinya merangkul Siyeon.
"Ihh! Apaan sih! Sana pergi!" usir Siyeon.
Akhirnya Trio Juleha pun pergi bertepatan dengan bel masuk yang berbunyi. Siyeon terus-menerus melihat ke pintu kelas, berharap Jeno segera datang. Namun, lelaki itu tak kunjung datang.
Siyeon diam-diam menghubungi Jeno, tapi ponsel lelaki itu juga belum aktif sejak semalam. Perasaannya pun semakin menjadi-jadi, ia takut terjadi sesuatu pada calon pacarnya.
Gadis itupun tak bisa melakukan apa-apa lagi, selain memperhatikan guru di depan kelas dengan pikiran yang terus-menerus dihantui dengan Lee Jeno.
...
Di sisi lain, seseorang yang tengah dikhawatirkan Siyeon kini tengah berlarian di sepanjang koridor rumah sakit. Sesekali ia menabrak orang-orang yang lewat karena terlalu panik dan kalang-kabut.
"Gimana-"
Plak!!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Lee Jeno ketika lelaki itu baru saja tiba di depan IGD.
Jeno memegangi pipinya yang terasa perih sembari mengatur napas yang masih terengah-engah.
"Bunda nggak habis pikir ya sama kamu, Jeno."
Pemuda itu hanya diam ketika sang bunda menghakiminya secara sepihak.
"Apa untungnya ngasi tau Lami kalo kalian sebenarnya bukan saudara kandung hah?" tanya Bunda.
Kedua tangan Jeno terkepal kuat, perlahan kepalaya terangkat menatap tajam sang bunda. "Perlu berapa kali sih Jeno bilang kalo bukan Jeno yang ngasi tau Lami!!"
"TERUS KALO BUKAN KAMU, SIAPA LAGI?!"
"MANA JENO TAU, MEMANGNYA JENO DUKUN BISA TAU SEMUANYA?!"
"Ck, kalian bisa diem nggak sih? Ini rumah sakit, malu dikit napa," ucap ayah tiri Jeno yang sedari tadi hanya menyimak.
"Awas aja kalo Lami kenapa-napa, semua gara-gara kamu!" Bunda sempat menuding putranya sebelum akhirnya duduk di sebelah sang suami.
Jeno mengusap kasar wajahnya kemudian memilih untuk duduk agak jauh dari IGD. Bukannya apa-apa, ia kesal sekali dengan sang bunda yang sejak semalam terus saja menyalahinya perkara Lami yang entah tau darimana bahwa mereka bukan saudara kandung. Alhasil kondisi adiknya itu tiba-tiba drop dan harus dilarikan ke rumah sakit pagi ini.
Tak lama kemudian, dokter yang keluar dari IGD lantas menjadi pusat perhatian Jeno maupun kedua orang tuanya.
"Gimana, Dok?" tanya Bunda.
"Kondisinya menurun cukup drastis," jawab sang dokter. "Pasien harus dirawat beberapa hari disini agar kami bisa memantau perkembangan jantungnya. Dan tolong jangan buat pasien stres karena itu dapat berpengaruh pada kesehatannya."
"Baik, Dok. Terima kasih."
Setelah, kepergian sang dokter, Jeno hendak masuk melihat kondisi adiknya, namun pergerakannya terhenti karena dihadang oleh sang bunda.
"Kamu denger sendiri kan kata dokter barusan? Lami nggak boleh stres, dan pemicu dia stres itu kamu. Sekarang lebih baik kamu pergi dari sini," usir Bunda.
Jeno terlihat marah sekali, ia hanya ingin melihat kondisi adiknya, tapi syaiton berbentuk manusia yang sering dipanggilnya Bunda itu malah mengusirnya.
Jeno menghela napas pelan kemudian mengibaskan tangannya, "Serah lu deh, dasar Heli."
"HEH, KAMU BILANG BUNDA APA?! AWAS AJA KAMU ANAK PEMBAWA SIAL!!"
Jeno dengan santainya pergi tanpa mempedulikan bundanya yang tengah kesetanan.
🍃🍃🍃
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Fanfiction"Hahaa!! Liat nih gue dikasi minjem jaket sama cowok!!" "Terus? Gue harus bilang WOW gitu?" "Bilang aja lo cemburu. Iya kan, iya kan??" "Nggak." "Tuhkan! Orang cemburu mana ada yang mau ngaku." "Dih, pede banget lo jadi orang." Mampukah seorang Par...