50. Dinner🍃

363 80 33
                                    

Tin!!

Jeno terkejut ketika ada sebuah mobil yang mengklakson dirinya. Berjalan sambil melamun lantas membuatnya semakin dekat dengan jalan raya. Lelaki itu segera menepi dan berjalan di trotoar.

Hari ini sungguh berat. Kafe tempatnya bekerja semakin sepi saja dan ia terancam untuk di PHK. Sedikit saja ia melakukan kesalahan dapat dipastikan bahwa dirinya akan ditendang dari sana, sedangkan kebutuhannya semakin banyak saja.

"Tumben jam segini udah pulang," ucap Donghae ketika Jeno masuk ke dalam rumah.

Jeno mengangguk lesu kemudian duduk di atas karpet.

"Kenapa?"

"Akhir-akhir ini kafe sepi, Yah. Jadi, ya gitu. Jeno takut di PHK."

"Ayah doain deh supaya kafe tempat kamu kerja bisa rame lagi."

"Amin," balas Jeno.

"Oh iya, Nak. Ada yang Ayah mau omongin sama kamu."

Jeno menoleh, "Apa?"

"Hng.. gini. Gimana kalo kamu tinggal sama Bunda lagi?"

"Ayah nggak suka Jeno tinggal disini?"

Donghae menggeleng cepat, "Bukan gitu maksudnya. Ayah cuma mau kamu dapet tempat tinggal yang layak."

"Jeno nggak mau."

"Dengerin Ayah, Nak-"

"Dibayar berapa sama Bunda?" tanya Jeno sinis.

Donghae terdiam.

"Ternyata Ayah sama aja kayak iblis itu," ucap Jeno kemudian pergi.

"Bukan gitu maksud Ayah, Jeno!"

Jeno tak memedulikan sang ayah yang menyerukan namanya. Dadanya terasa sesak mengetahui orang yang sangat ia percaya bahkan turut serta dalam kongkalikong dengan iblis-iblis itu.

Jeno duduk sendirian di tepi sungai Han. Entah kenapa ia sangat suka dengan sungai ini. Ia akan datang tak peduli hatinya sedang sedih atau bahagia.

Karena suntuk, Jeno pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Siyeon, biasanya penatnya akan hilang jika sudah mendengar suara cempreng gadis itu.

"Halo?"

Kedua alis Jeno bertaut mendengar suara yang berasal dari ponselnya. "Siapa? Kok hp Siyeon bisa ada sama lo?"

"Ini Guanlin. Masih berani ternyata lo nelpon calon tunangan gue."

Jeno mendecih, "Siyeon nggak akan mau sama lo."

"Tolong sadar diri ya. Lo bisa ngasi apa buat Siyeon hah? Cinta doang? Makan tuh cinta," ledek Guanlin.

"Terus lo sendiri bisa ngasi apa buat Siyeon? Duit orang tua doang?"

"Walaupun duit orang tua, tapi gue bisa ngasi segalanya buat Siyeon. Kalo lo mau liat Siyeon bahagia, mending lo cepet-cepet putusin dia deh."

"Kenapa lo yang ngatur sih, bangsat?!"

"Kan udah gue bilang, Siyeon itu calon tunangan gue. Sekarang aja kita lagi makan malem sekalian ngobrolin persiapan pertunangan."

"Lo pikir gue percaya sama lo?"

"Terus menurut lo, kenapa hp Siyeon bisa ada sama gue?" tanya Guanlin. "Oh, oke-oke kalo lo nggak percaya. Gue kirimin fotonya sekarang."

Ting!

Ponsel Jeno berdenting karena ada pesan yang masuk dari Siyeon. Matanya melebar melihat foto yang diambil di sebuah restoran mewah itu.

"Gimana? Lo bisa nggak ngajak Siyeon makan di tempat kayak gini? Paling mentok lo ngajak Siyeon makan di pinggir jalan aja kan? Hahaha, dasar miskin!"

Kedua tangan Jeno terkepal kuat, "Mana Siyeon?"

"Calon tunangan gue lagi ke kamar mandi- Eh, ini dia udah dateng," ucap Guanlin. "Yeon, ada orang miskin nelpon lo nih."

Terdengar suara grasak-grusuk sebelum akhirnya Siyeon berbicara. "Halo? Jeno?"

Tut Tut Tut.

Jeno memutuskan sambungannya begitu saja. Rahangnya mengeras dan tatapan tajamnya tak terlepas dari ponsel yang kini tengah di genggamannya.

Tak lama kemudian, ada sebuah panggilan masuk dari Siyeon. Tanpa basa-basi, Jeno segera menolaknya, tak lupa mematikan ponselnya agar tidak ada yang mengganggunya malam ini.

"ARGHH!!" teriak Jeno sekencang mungkin hingga membuat beberapa orang menoleh padanya.

Lelaki itu menunduk dalam-dalam, merutuki dirinya yang benar-benar bodoh.

"Jeno?"

Jeno hanya diam ketika ada seseorang yang menyentuh pundaknya.

"Ayah minta maaf.."

Pemuda itu mengangkat dagu dan menatap sang ayah, "Nggak apa-apa, Yah. Jeno mau kok tinggal lagi sama Bunda."





***





Siyeon masuk ke rumah dengan perasaan kesal, membuat Jihoon terheran-heran dibuatnya.

"Dek, kamu kenapa?" tanya Jihoon.

Siyeon tak menghiraukannya, gadis itu berjalan cepat menuju kamar dengan Guanlin yang mengejar di belakangnya.

"Siyeon, tunggu dulu."

"APALAGI, BANGSAT?!" kesal Siyeon ketika Guanlin berhasil menahan tangannya.

"Kenapa sih lo? Salah gue apa?" tanya Guanlin.

"Lo pasti udah ngomong yang enggak-enggak sama Jeno kan?!"

"Enggak, sumpah dah. Dianya aja yang aneh, tiba-tiba nutup telfon lo."

"Gue kenal Jeno dan dia nggak mungkin marah tanpa sebab!"

"Sebentar, kalian berantem gara-gara Jeno?" tanya Jihoon.

"Denger ya, Kak. Aku nggak mau lagi dipaksa dinner sama cowok blangsak ini!!" ucap Siyeon.

Guanlin mendecak, "Please buka mata lo, Yeon. Lo ngarepin apa sih dari cowok miskin dan nggak jelas itu?"

Plak!!

Siyeon menampar pipi Guanlin dengan keras, napasnya memburu dan matanya memerah karena menahan amarah.

"Berani-beraninya lo nampar gue, Bangsat!!" teriak Guanlin.

Siyeon tertawa sinis, "Kenapa? Lo itu nggak lebih dari sekedar anak manja yang bisanya cuma buang-buang duit orang tua."

Plak!!

Kini giliran Guanlin yang menampar Siyeon.

Gadis itu bergeming sambil memegangi pipinya yang terlihat merah. Sedetik kemudian ia tertawa sinis. "Ini cowok pilihan Kakak? Belum ada hubungan aja udah berani nampar, apalagi udah tunangan nanti."

Jihoon hanya mematung di tempat, pasalnya ia sendiri pun tak menyangka Guanlin bisa melakukan itu.

"Y-yeon, gue minta maaf," ucap Guanlin.

"Buat apa minta maaf, bangsat?!" kesal Siyeon. "Makan tu maaf!!"

Siyeon segera berlari menuju kamar, tak lupa membanting pintu keras-keras.

Gadis itu menangis sembari memeluk guling. Ia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Jeno, namun ponsel lelaki itu masih saja tidak aktif.

"Jeno.. tolong angkat teleponnya.."

🍃🍃🍃













Tbc...

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang