Jeno menghela napas berat, ia baru saja selesai berkeliling mengantar koran. Lelaki itu mengambil ponselnya dan menatap boneka kuda poni yang terpampang disana. Siyeon sengaja menjadikannya wallpaper agar Jeno tidak lupa membelikannya untuk hadiah ulang tahun yang ke tujuh belas.
Jeno duduk di trotoar sembari meneguk sebotol air yang tadi diberikan Siyeon. Hari ini adalah ulang tahun pacarnya dan ia belum mempunyai uang untuk membeli kuda itu.
Ia tak mungkin menggunakan gaji hasil berjualan koran dan menjaga kafe karena Bunda pasti akan marah jika ia terlambat membayar uang sewa. Jadi, hari ini ia memutuskan untuk mencari pekerjaan tambahan.
Sepertinya dewi fortuna tengah berpihak Lee Jeno saat ini. Lelaki itu melihat sebuah truk yang membawa sembako berhenti di seberang jalan. Tanpa menunggu lama, iapun menyeberang jalan dan bertanya kepada salah satu buruh.
"Permisi, Pak? Ada yang bisa saya bantuin nggak?" tanya Jeno.
"Oh, iya. Kamu bantu angkat beras-beras ini ke gudang ya, nanti saya kasi upah."
Jeno mengangguk cepat kemudian memindahkan beras itu ke dalam gudang bersama buruh yang lainnya.
"Yes, habis ini pasti bisa beli kuda buat Siyeon," gumam Jeno.
Tak kenal lelah, lelaki itu mengangkut beras-beras itu, padahal punggungnya sudah terasa sakit. Namun, membayangkan senyum Siyeon saat menerima kuda poni nanti membuat Jeno tak gentar sama sekali.
"Ini, upah buat kamu."
Mata Jeno berbinar melihat beberapa lembar uang yang diberikan oleh si pemberi kerja. Sepertinya itu sudah cukup untuk membeli boneka yang Siyeon mau.
"Terima kasih, Pak," ucap Jeno lalu segera pergi.
Jeno tersenyum melihat boneka kuda poni yang terpampang nyata di kaca depan sebuah toko. Tanpa menunggu lama, iapun masuk dan mengambil boneka yang cukup besar itu.
Senyuman Jeno hilang begitu saja mengetahui bahwa uangnya tidak cukup untuk membeli boneka itu. Ia menghela napas kemudian mengedarkan pandangannya sekeliling.
"Ada yang bisa dibantu, Kak?" tanya penjaga toko.
"Boneka kuda ini cuma ada yang ini doang ya?"
"Ada yang lain kok, sebelah sini."
Jeno mengikuti penjaga toko tersebut ke sebuah etalase yang banyak berisi boneka kuda poni.
Lelaki itu melihat harga yang tertera disana satu per satu. Akhirnya ia menemukan satu boneka yang cukup dengan uang yang dimilikinya.
"Bungkus yang ini deh, Mbak," ucap Jeno.
Penjaga toko pun mengangguk dan langsung membungkus pesanan Jeno menggunakan kertas kado.
"Tambah kertas kadonya lagi 2 ribu ya, Kak."
Mampus.
Kenapa Jeno tidak memikirkan kertas kadonya juga?
Lelaki itu nampak merogoh saku celananya dan membongkar isi tasnya, berharap menemukan uang terselip disana.
"Y-yah, saya punya seribu aja. Gimana?" tanya Jeno. "Kalo gitu nggak usah dibungkus deh."
"Oh gitu? Iya, nggak apa-apa deh. Saya kasi diskon lagi seribunya."
Jeno tersenyum tipis, "Makasi ya."
Penjaga toko itupun mengangguk kemudian memberikan belanjaannya kepada Jeno. "Semoga pacarnya suka ya, Kak."
Jeno mengangguk kemudian segera pergi. Ia harus cepat-cepat pulang karena ia pekerjaan di rumah sudah menunggu.
***
Jeno sudah terlihat rapi dengan kemeja maroon dan celana panjang hitam. Sedari tadi ia membongkar lemari dan sepertinya hanya baju ini yang ia punya untuk pergi ke ulang tahun Siyeon. Memang dasarnya sudah tampan, memakai baju apapun pasti tetap terlihat tampan.
Tak lupa membawa kado spesialnya, Jeno pun beranjak pergi.
"Kak? Mau kemana?"
Langkah Jeno terhenti ketika suara Lami terdengar di telinganya.
"Mau ke rumah Siyeon," balas Jeno.
"Ngapain?"
"Hari ini dia ulang tahun."
"Oh. Itu kado buat dia ya?" tanya Lami.
Jeno mengangguk.
"Coba liat."
Jeno memberikan kado itu pada adiknya. Lelaki itu terkejut ketika Lami merobek bungkus kadonya.
"Ih, lucu! Buat aku ya, Kak?!"
"Dek, itu buat Siyeon," ucap Jeno.
"Nggak mau! Mulai sekarang boneka ini punya aku!!" seru Lami.
"Nanti Kakak beliin yang lain deh buat kamu."
"Aku maunya yang ini, Kak!"
"Besok deh, Kakak janji beliin boneka yang sama persis."
"Aku bilang nggak mau ya nggak mau!!"
"Ada apa ribut-ribut?" Bunda tiba-tiba datang entah darimana.
"Ini, Bun. Kak Jeno pelit banget. Lami minta bonekanya masak nggak dikasi."
Jeno menghela napas kemudian membuang muka.
"Boneka murahan jugaan, besok Bunda beliin yang lebih bagus deh dari ini."
"Nggak mau, Bun! Lami mau yang ini!"
"Kamu udah denger kan adik kamu, Jeno?" tanya Bunda.
"Iya, Bunda," pelan Jeno.
"Oh, iya. Uang sewanya mana?" tanya Bunda.
Jeno mengeluarkan amplop cokelat dari saku celananya kemudian memberikannya pada Bunda.
"Yaudah, kalian jangan ribut lagi," ucap Bunda lalu pergi.
Lami sempat meledek Jeno sebelum akhirnya pergi.
Dengan lesu, Jeno memungut kertas kado yang berserakan di lantai kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Lelaki itu berjalan sendirian menyusuri trotoar. Matanya meneliti sekeliling, siapa tau ia masih bisa mendapatkan uang saat ini.
Sudah cukup jauh Jeno berjalan, namun ia belum juga mendapatkan uang sepeserpun. Lelaki itu menghembuskan napas berat kemudian duduk di emperan toko yang tutup.
Getaran ponsel di dalam saku celana membuat Jeno tersadar dari lamunannya. Panggilan dari Siyeon, apakah ia harus mengangkatnya?
"Halo?"
"Jeno? Lo dimana? Acaranya udah mau mulai nih!"
"I-iya, ini udah deket."
"Cepet ya! Jangan lupa kuda poninya!"
"Iya," pelan Jeno kemudian memutuskan sambungannya.
🍃🍃🍃
Tbc...
Hng.. aku hari ini juga lagi ulang tahun hehe *mengkode*
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Fanfiction"Hahaa!! Liat nih gue dikasi minjem jaket sama cowok!!" "Terus? Gue harus bilang WOW gitu?" "Bilang aja lo cemburu. Iya kan, iya kan??" "Nggak." "Tuhkan! Orang cemburu mana ada yang mau ngaku." "Dih, pede banget lo jadi orang." Mampukah seorang Par...