---
"Aku, dan apa yang ada di dalam kepalaku.
Sama berisiknya seperti kincir angin disaat badai."---
Setelah merasa puas memaki-maki Genta yang dengan lancang merangkul, bahkan mengakui dirinya sebagai pacar cowok itu. Lantas, Chiara pulang ke rumah dengan beribu tanya di kepalanya. Bukan memikirkan Genta, tetapi Diero. Chiara merasa hidupnya kini menjadi tidak tenang.
Gadis itu mengganggap Diero sebagai pengganggu dan bisa jadi sebagai suatu bencana dihidupnya. Kalau Genta, hanya dianggap sebagai angin lalu dan sebagai pencair suasana saja.
Walaupun Chiara terus merenung, ia tetap fokus mengendarai motor agar tidak terjadi apa-apa hanya karena memikirkan para cowok abstrak yang terpaksa ia kenal. Hanya butuh waktu beberapa menit, motor Chiara mulai memasuki komplek perumahan.
Pak satpam yang akrab ia panggil 'Pak Dadang' keluar dari pos satpam. Chiara menghentikan laju motornya. "Halo, Pak Dadang!" sapa Chiara dengan senyum yang merekah di bibirnya.
Sapaan itu disambut hangat oleh Pak Dadang. "Eh, Neng Chiara, baru pulang sekolah, ya?" kata Pak Dadang dengan logat Sunda yang sudah berdiri di samping Chiara.
"Iya nih, Pak. Oh, ya Pak, saya di rumah sendiri. Soalnya orang tua lagi ke luar kota. Jadi, minta tolong jaga komplek ini dengan ketat ya Pak," ucap Chiara sambil terkekeh.
Pak Dadang memberikan hormat pada Chiara. "Siap, Neng Chia!" ujar Pak Dadang kemudian tertawa. "Neng Chia," panggil Pak Dadang.
"Ada apa, Pak?"
"Tadi ada cowok sepantaran Neng Chia, nyariin Eneng."
"Ciri-cirinya kayak gimana, Pak?"
"Ganteng, Neng. Cocok lah sama Eneng yang geulis," canda Pak Dadang.
"Serius, atuh, Pak, ih!"
Pak Dadang kembali tertawa. "Putih, tinggi, definisi cowok ganteng lah, Neng pokok na mah."
Penjelasan dari pria bertubuh kurus itu masih belum dimengerti oleh Chiara membuatnya kembali melontarkan sebuah pertanyaan, "Pakai motor apa, Pak?"
Pak Dadang pun menjelaskan kembali dengan logat Sunda yang terdengar lucu. "Motor gede warna hitam putih gitu kalau gak salah, teh. Sekarang masih di sekitaran komplek kayakna mah, belum kelihatan pergi."
*****
Sepertinya yang dimaksud oleh Pak Dadang adalah Erlan. Chiara pikir Erlan akan menunggunya di depan rumah, ternyata tidak membuat Chiara merasa lega. Sesampainya di depan rumah, Chiara segera turun untuk membuka pagar, lalu kembali menjalankan motornya ke dalam garasi di samping mobil keluarganya yang terparkir rapi.
Orang tuanya sengaja tidak membawa mobil. Mereka memilih untuk menumpangi pesawat saja, katanya agar anak gadisnya itu dapat memakai mobil tersebut ketika dibutuhkan untuk hal mendesak, atau ketika hujan lebih baik agar menggunakan mobil saja.
Chiara berjalan menuju pintu seraya mengambil kunci yang ia simpan di dalam tas bercorak biru cokelatnya. Ia memegang kenop pintu yang berwarna putih, lalu memasukkan kunci untuk membukanya. Akan tetapi, Chiara merasa ada kejanggalan.
Lantas, ia mendorong pintu tersebut. Berapa terkejutnya ia ketika menyaksikan pintu itu terbuka. Padahal, ia sangat yakin jika tadi pagi ia sudah mengunci pintunya. Lalu, kenapa sekarang tiba-tiba tidak terkunci?
Buru-buru Chiara masuk ke rumahnya untuk memastikan jika tidak ada maling, seperti yang ada dipikirannya saat ini.
Chiara memastikan kamar orang tuanya terkunci rapat, kemudian berlari ke atas untuk mengecek kamar pribadinya. Ia semakin merasa ada keanehan saat pintu kamarnya masih terkunci. Kemudian, ia kembali turun dan ingin memastikan kembali jikalau rumahnya tidak ada siapa-siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Charmolypi [COMPLETED]
Teen FictionTentang sebuah kisah yang menyuguhkan perasaan campur aduk antara suka, duka yang sulit untuk diungkapkan, serta dijelaskan. Tentang sebuah kisah yang rumit antara, aku, kamu, dan dia. Perjalanan yang entah akan berakhir romantis, dramatis, atau mal...