Alena terus saja melamun sehingga membuatnya tidak fokus belajar. Alena selalu memikirkan tentang sekolah. Seandainya ia bisa seperti anak remaja pada umumnya, tetapi rasanya itu mustahil. Alena berharap akan ada keajaiban yang datang pada kehidupannya.
"Otot itu terbagi menjadi 3, yaitu otot polos, otot lurik dan otot jantung. Ketiga otot itu berbeda-beda dalam proses kerjanya. Saat otot polos berkontraksi, bagian tengahnya akan membesar dan otot menjadi pendek. Otot polos juga bergerak secara lambat dan teratur, serta tidak cepat lelah. Sementara otot lurik dan otot jantung hampir sama. Namun, perbedaannya pada sifat kerjanya. Pada saat otot lurik berkontraksi, otot akan menjadi pendek dan setiap serabut turut bergerak dengan berkontraksi. Sehingga kerja otot lurik bersifat sadar. Berbanding terbalik dengan otot jantung yang bekerja di luar kesadaran," tutur Bu Frida panjang.
"Gimana udah paham Al?" tanya Bu Frida seraya menoleh pada Alena. Namun, yang ditanya malah sibuk dengan pikirannya sendiri.
Bu Frida perhatikan belakangan ini Alena selalu tidak konsentrasi dalam belajar. Entah apa sebenarnya yang membuatnya tidak fokus. Bu Frida menepuk pelan pundak Alena, menyadarkannya dari lamunan. "Kenapa? Apa ada masalah? Cerita sama Ibu," bujuk Bu Frida.
Sontak Alena tersadar dari lamunannya. "Alena baik-baik aja kok Bu," jawab Alena.
"Yakin?" tanya Bu Frida kembali memastikan.
Alena mengangguk pelan berusaha meyakinkan Bu Frida, bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, kenyataannya tidak seperti itu.
Bu Frida tersenyum lega. "Yaudah kita belajar lagi yuk," ajak Bu Frida.
Seandainya ada orang yang bisa memahami Alena. Namun, kenyataan tak ada satu pun orang yang memahami perasaannya, terutama Ayahnya sendiri. Di saat kondisi seperti ini yang Alena butuhkan sosok Bunda. Dimana hanya sosoknya yang bisa memahami dirinya.
Sementara di sisi lain, suasana kantin seperti biasanya ramai bak pasar. Banyak orang-orang yang berlalu lalang, memesan ke sana kemari. Mengenai kantin, siapa sih yang tidak betah berlama-lama di sana? Apalagi banyak sekali jajanan di kantin.
Mengenai urusan perut itu hal yang paling penting bagi Gio Agrio. Badannya saja kecil, tapi doyan makannya minta ampun. Jika orang normal biasanya memakan bakso cuma satu porsi. Berbeda dengan Gio yang memilih makan bakso dua porsi. Karena hal itu, Gio sering dijuluki oleh kedua sahabatnya dengan sebutan perut karet.
Selain Gio jago makan, dia juga jago main basket. Pada saat ia masih duduk di bangku SMP. Gio pernah menjadi ketua tim basket. Akan tetapi, kali ini Gio tidak bisa menjadi ketua tim basket di SMA Garuda.
Ketua tim basket di SMA kini dipegang oleh Bevan sang idola kaum hawa. Selain menguasai basket, Bevan juga menguasai cabang olahraga lainnya, dari mulai renang, ia pernah mendapatkan mendali emas, voli dan sepakbola. Bahkan kini Bevan sedang mengasah dalam bidang lain, yaitu Boxing. Tak heran jika kaum hawa menyukainya.
Bi inah datang menghampiri meja yang ditempati oleh ketiga lelaki itu, dengan membawa nampan berisikan bakso. Namun, bukan tiga mangkuk melainkan empat mangkuk. Bi inah menaruh satu per satu mangkuk itu di atas meja.
"Hm Bi, kita kan bertiga, terus bakso satunya lagi buat siapa?" tanya Ciko. Sepertinya ada yang tidak beres dengan pesanannya. Ciko menganggap bahwa Bi Inah salah membawa pesanannya.
Gio mengambil mangkuk yang berada di atas nampan. Lalu menyimpannya di samping mangkuknya yang satu lagi. "Ini punya gue," jawab Gio.
Ciko dan Bevan saling melontarkan pandangan. Lalu menggeleng pelan, ketika melihat Gio dengan lahap memakan baksonya, seperti orang yang belum dikasih makan selama satu tahun.
Seketika kantin menjadi riuh, ketika dua insan yang terkenal dengan ketampanan dan juga kecantikannya memasuki area kantin. Siapa lagi kalau bukan Bianca dan Leon. Beberapa siswi berbisik, terdengar seperti ini.
"Kok Kak Leon mau ya sama si Bianca?" Yang lainnya membalas mencibir Bianca. "Paling Kak Leon dijodohin sama bokap nyokapnya, mereka kan terkenal kaya." Siswi itu pun memutar bola matanya jengah seraya berkata, "Kalau jadi gue sih, ogah."
Bianca menggandeng tangan Leon sangat erat dengan raut wajah bahagia, berbanding terbalik dengan Leon yang terlihat cuek. Bianca memilih tempat duduk di depan meja Bevan dan kedua sahabatnya.
Gio yang sedang lahap memakan bakso tiba-tiba ia tersedak, ketika melihat dua insan yang tengah duduk di meja depan. Dengan cepat Gio mengambil se-gelas es teh manis, lalu meneguknya sampai tak tersisa.
"Eh, eh ... Loh kok berhenti? Itu baksonya satu mangkuk lagi," ejek Ciko.
"Gue gak mood," elak Gio dengan pandangan masih tertuju pada dua insan itu. Gio sudah lama menyukai Bianca. Meskipun, Gio tahu bahwa Bianca berpacaran dengan Leon, tetapi tetap ia menyukainya.
Sudah bertahun-tahun Bianca dan Leon menjalin hubungan. Pasalnya Ayah Bianca dan Ayah Leon menjalin kerjasama oleh sebab itu mereka saling kenal. Usia Bianca hanya terpaut satu tahun. Bianca kini menduduki bangku kelas sebelas, sedangkan Leon kelas dua belas, keduanya jurusan IPA.
"Be, mau makan apa?" tanya Bianca.
"Makan temen," sahut Gio dengan wajah polos.
Bianca melirik ke belakang dengan tatapan sinis. Lalu pandanganya kembali beralih pada Leon.
"Gue gak mau makan. Permisi, gue mau ke toilet," jawab Leon dengan datar seraya berlalu pergi.
Suara gelak tawa terdengar dari belakang meja Bianca. Siapa lagi kalau bukan Gio yang kini tertawa lepas. Rasanya kemenangan ada di depan mata. Seseorang yang Gio sukai diacuhkan oleh pacarnya sendiri, tentu saja membuat dirinya bahagia.
"Ditinggal lagi sayang-sayangnya, uwu atit," ejek Gio.
"Parah lo Yo," ucap Ciko seraya menepuk pundak Gio.
Gio tersenyum, kini hatinya merasa lega. "Maaf ya bakso, tadi gue acuhin lo," kata Gio seraya kembali menyantap baksonya dengan lahap.
"Kalau lo masih laper pesen aja, gue yang bayar," ucap Bevan seraya berlalu pergi menuju tempat warung Bi Inah. Bevan memesan bakso empat puluh bungkus. Bukan untuk dirinya maupun untuk Gio, melainkan untuk anak-anak panti asuhan. Di kala seperti ini, Bevan masih teringat akan menyangkut anak-anak panti.
"Bi, nanti tolong anterin ya ke panti asuhan Ar-Rahman," pinta Bevan.
"Siap Den," ucap Bi Inah.
Bevan kembali pergi ke tempat duduknya. Bevan dibuat terkejut, ketika mendapati meja makannya yang penuh dengan makanan dari mulai siomay, kentang goreng, juga satu mangkuk bakso.
"Siapa lagi," ungkap Ciko seraya memegang keningnya.
Salah satu tingkah kelakuan Gio membuat Bevan hanya bisa menggeleng pelan. Memang tidak salah Bevan dan Ciko menjulukinya dengan sebutan perut karet. Bevan kembali duduk di bangku panjang.
Bevan merasakan getaran pada benda pipih yang terletak di dalam saku celananya. Bevan pun mengambil ponsel, terpampang dari layar ponselnya panggilan masuk dari Abi. Bukannya mengangkat panggilan itu, Bevan malah menolak panggilan dari Abinya. Bevan memilih untuk kembali memakan baksonya.
•
•
•
•
•
•
TBCTinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Love (Revisi)
Teen Fiction"Hai Bidadari cantik, gimana udah bangun? Kalau udah jangan lupa bangunin Bevan ya!" Isi surat itu seperti tidak berarti apa-apa. Namun, siapa sangka isi surat itu mengandung makna terdalam. Alena disadarkan oleh sebuah kenyataan yang sangat menyaki...