"Yang aku butuhkan cuma restu dari Ayahmu."
Bevan Deonandra Fernandes
Cahaya mentari masuk lewat jendela, menyoroti kamarnya yang membuat seorang gadis terbangun dari tidurnya. Alena mengucek matanya, lalu beranjak berdiri melangkah dengan gontai menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama Alena selesai dengan memakai seragam sekolah rapih.
Alena duduk di kursi rias dengan di hadapannya sebuah cermin memantulkan bayangan dirinya. Alena pun menyisir rambutnya yang panjang. Tanpa disadari bebeberapa helai rambut berjatuhan ke bawah lantai.
Tring
Sebuah notifikasi masuk dengan cepat Alena raih ponselnya yang berada di meja rias. Sebuah pesan yang berhasil membuat senyum Alena mengembang dengan sempurna. Siapa lagi kalau bukan pesan dari Bevan.
Bevan Fernandes
Udah satu jam nih nunggu, gak kasian apa sama kaki Bevan?
Alena terkekeh pelan membaca pesan singkat darinya. Ternyata Bevan sudah menunggunya di bawah. Alena semakin bingung sama Ayahnya, entah kenapa Ayahnya memberikan izin kepada Bevan yang padahal bukan siapa-siapanya. Dan semenjak kehadiran Bevan, Alena lebih bebas.
Alena mengambil tasnya, lalu menggendong tasnya sebelah. Alena pun membuka pintu kamarnya, lalu berjalan gontai menuruni anak tangga. Terlihat Bevan yang sudah lama menunggu di depan rumahnya tengah mengobrol dengan Ayahnya.
Bevan beranjak berdiri, begitu pun juga Ayah Alena. Bevan pun mencium telapak tangan Ayah Alena meminta izin. "Om, Bevan pamit ya," pamit Bevan.
"Le juga pamit Yah,” pamit Alena seraya mencium telapak tangan Ayahnya.
Ayah Alena mengelus kepala Alena seraya berkata, "Hati-hati ya." Dilihat tangannya ada beberapa helai rambut Alena yang rontok. Wijaya berusaha bersikap baik-baik saja seolah tidak terjadi ada apa-apa.
Bevan yang melihat perubahan raut wajah Ayah Alena merasa bingung. Namun, dengan cepat Bevan menghempas pikiran negatifnya. Bevan dan Alena pun berjalan beriringan menuju motornya yang terparkir di pekarangan rumah.
Bevan memakai helm, lalu memberikan helm satunya lagi kepada Alena. Kemudian, Alena pun memakai helm yang diberikan oleh Bevan. Bevan menaiki motor ninjanya diikuti oleh Alena yang duduk di bagian jok belakang. Bevan pun menancapkan gasnya membelah jalanan.
Di lampu merah semua pengendara baik roda empat maupun roda dua berhenti. Ini kesempatan baik bagi Bevan untuk menanyakan sesuatu hal yang selalu mengganjal di hatinya.
“Al,” panggil Bevan.
“Iya, kenapa?” tanya Alena.
“Ayah kamu possessive banget ya, tapi kok bisa Ayah kamu ngizinin kamu pergi sama aku?” tanya Bevan.
Sebenarnya itu yang Alena pikirkan dari tadi. Kenapa Ayahnya bertingkah aneh? Alena menggeleng pelan seraya berkata, “Aku juga gak tahu.”
“Apa mungkin lampu hijau?” tanya Bevan. Jika itu kebenarannya Bevan merasa sangat senang sekali. Sementara Alena tidak mengerti sama sekali maksud dari perkataan Bevan.
“Maksudnya?” Alena balik bertanya.
Bevan terbata-bata menjawab pertanyaan dari Alena. Lampu kini berganti warna menjadi hijau dimana pengendara bisa kembali melanjutkan perjalanannya. “Itu lampunya udah hijau,” jawab Bevan seraya tersenyum kikuk.
Hari ini kelas 11 IPA 2 melaksanakan ulangan harian, yaitu ulangan matematika. Tak heran jika keadaan kelas kini sepi bak kuburan, karena mereka sedang mengerjakan soal ulangan yang bisa dibilang cukup sulit. Pelajaran apalagi kalau bukan matematika. Sudah hampir setengah jam mereka mengerjakan. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang selesai mengerjakan.
Hingga tak terasa waktu berputar begitu cepat. Kini waktu pelajaran sudah habis. Pak Trio pun menyuruh kepada siswa-siswi untuk mengumpulkan lembar ulangannya.
"Semua lembar jawaban kumpulkan," perintah Pak Trio.
"Sekarang pak?" tanya Gibran dengan wajah polos.
"Tahun depan," jawab Pak Trio dengan datarnya.
Gibran ber-oh ria saja seraya melanjutkan pekerjaannya. Pak Trio menggebrak meja dengan penggaris papan tulis yang membuat semuanya terkejut, apalagi Gibran.
"Siap grak, " celetuk Gibran latah seraya beranjak berdiri dengan posisi badan tegak. Sontak hal itu membuat semuanya berhasil dibuat tertawa oleh Gibran.
Semua siswa-siswi pun mengumpulkan kertas lembar jawabannya di meja depan, terkecuali Gio yang masih duduk di kursinya dengan lembar jawaban di genggamannya.
"Heh Yo, kumpulin napa," kata Ciko seraya menepuk pundak Gio.
Gio mengangguk pelan seraya beranjak berdiri. Namun, bukannya malah mengumpulkan lembar jawaban itu, Gio malah berdiam diri di samping mejanya.
“Ayo yang lainnya mana,” ucap Pak Trio yang tengah menghitung ada berapa lembar kertas ulangan.
Gio menghela napasnya sejenak. Kemudian, ia berjalan menghampirinya meja Pak Trio dengan langkah ragu. Gio tidak percaya diri dengan hasilnya. Sepertinya ia akan mendapatkan nilai di bawah kkm.
Gio meneguk salivanya seraya berguman dalam hati, "Tamatlah riwayat lo Yo." Gio pun menyodorkan selembar kertas pada Pak Trio.
Pak Trio mengambil kertasnya dengan gesit. "Lama bener," sindir Pak Trio.
Pak Trio memasukkan beberapa lembar jawaban siswa ke dalam map. Pak Trio pun beranjak berdiri seraya berkata, "Besok bapak akan bagikan hasilnya, assalamualaikum.”
"Waalaikumsalam," ucap mereka serempak.
Bel pun berbunyi menandakan waktunya istirahat tiba. Semua siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Seperti biasanya sudah menjadi basecamp ketiga lelaki itu berkumpul di meja bagian pojok. Namun, hal yang menjadi sorotan ketika seorang gadis ikut dalam perkumpulannya.
Bi Inah datang seraya membawa nampan berisikan pesanan mereka. Ditaruh makanan di atas meja. "Selamat menikmati," ucap Bi Inah.
"Terimakasih Bi Inah," ucap Ciko.
Tak seperti biasanya Gio yang antusias ketika melihat bakso di hadapannya, kini terdiam bak dilanda ujian.
Ciko menyeruput jus strawberry. "Dimakan tuh baksonya kesian diacuhin mulu," ejek Ciko.
"Males, gue mau ke toilet,” pamit Gio seraya berlalu pergi.
Ciko dan Bevan saling melontarkan pandangannya satu sama lain. Bevan menyimpulkan bahwa Gio sedang dilanda masalah. Bevan hanya bisa menyimpulkan tidak berani bertanya kepadanya. Karena ketika seseorang sedang dilanda masalah tidak akan menjawab ketika ditanya. Lebih baik menunggu seseorang itu siap untuk bercerita.
Saat Gio hendak keluar dari kantin, ia berpapasan dengan Bianca yang tengah berjalan menuju ke arahnya seorang diri. Gio melewati Bianca, tanpa menyapa atau mengejeknya. Seharusnya saat ini peluang besar bagi Gio untuk mengejek Bianca. Karena tidak biasanya Bianca pergi ke kantin seorang diri, tidak ditemani oleh kekasihnya.
"Aneh," gerutu Bianca seraya memandang punggung Gio yang perlahan mulai menjauh.
•
•
•
•
•
•
TBCTinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Love (Revisi)
Teen Fiction"Hai Bidadari cantik, gimana udah bangun? Kalau udah jangan lupa bangunin Bevan ya!" Isi surat itu seperti tidak berarti apa-apa. Namun, siapa sangka isi surat itu mengandung makna terdalam. Alena disadarkan oleh sebuah kenyataan yang sangat menyaki...