Di sisi lain, Alena tengah berdiri di depan balkonnya seraya menikmati udara segar. Terlintas di pikirannya mengenai perkataan Bevan.
"Percayalah akan ada keajaiban hari ini."
Dirinya merasa senang ketika mendengar kata sekolah. Seketika dirinya tersadar dan teringat pada Ayahnya. Ayahnya tidak akan pernah mengizinkan Alena untuk sekolah sampai kapan pun. Mungkin Ayahnya akan mengizinkan, jika ada sebuah keajaiban. Alena berharap keajaiban itu datang padanya.
Alena berjalan dengan gontai menuju kamar Ayahnya. Alena pun mengetuk pintu kamar yang terbuka lebar. Ayah yang tengah duduk di tepi ranjang berbalik badan menghadap ke sumber suara. "Yah, boleh Alena masuk?" tanya Alena yang tengah berada di ambang pintu kamar Ayah.
“Kenapa kamu bertanya, tentu saja boleh,” jawab Ayah Alena.
Setelah mendapati izin dari Ayahnya. Kemudian, Alena pun masuk ke dalam seraya duduk di tepi ranjang. “Yah, boleh Alena meminta sesuatu?” tanya Alena.
"Katakan, apa yang ingin kamu minta?" tanya Ayah Alena.
Alena terdiam sejenak. Alena berpikir entah ini keputusan yang benar atau salah. “Alena ingin sekolah seperti orang pada umumnya Ayah," jawab Alena seraya menundukkan pandangannya.
“Le,” kata Ayah Alena. Sebenarnya Alena sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Ayahnya.
Alena pun beranjak berdiri seraya tersenyum menatap pada Ayahnya. “Alena tahu apa yang bakal Ayah katakan. Yaudah Ayah, Ale pergi ke kamar dulu ya," pamit Alena seraya berlalu pergi kembali ke kamarnya.
Dilema itulah yang kini dirasakan oleh Ayah Alena. Bukannya ia tidak ingin memberikan kebebasan pada putrinya. Tapi apalah daya dirinya, demi keselamatan putrinya ia akan lakukan. Meskipun, hal itu akan membuat putrinya sedih. Ayah Alena pun mengambil foto Kayla-sang istri. Tanpa ia sadari sebutir cairan bening berhasil keluar dari pelupuk matanya.
Seseorang mengetuk pintu yang terbuka lebar seraya berkata, “Permisi Tuan.”
“Masuk,” ucap Ayah Alena yang bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Mbo Ijah pun masuk ke dalam kamar. “Ini ada surat untuk Tuan,” kata Mbo Ijah seraya menyodorkan amplop berisikan surat di dalamnya.
“Dari siapa?” tanya Wijaya.
Mbo Ijah menggeleng pelan seraya menjawab, “Tidak tahu Tuan.”
“Terimakasih ya,” ucap Ayah Alena seraya mengambil amplop itu. Kemudian, Mbo Ijah pun berlalu pergi setelah berpamitan pada pemilik rumahnya.
Sedikit heran, masih ada ternyata di jaman milenium ini orang yang mengirimkan surat. Bukankah teknologi semakin canggih? Akan tetapi, masih ada orang yang menggunakan surat.
Karena penasaran dengan isi surat itu. Ia pun membuka surat itu, lalu membacanya. Di dalam surat itu tertulis seperti ini.
Setiap orang menginginkan kebebasan, tapi tak semua orang mendapatkan hak itu. Setiap anak selalu menuruti permintaan orangtuanya hanya karena ingin melihat orangtuanya bahagia. Akan tetapi, sangat sedikit dari orangtua yang memperhatikan keinginan anaknya. Bahkan sangat sedikit dari orangtua yang menuruti segala permintaan anaknya. Memang, tujuan mereka sangat baik. Sebagai orangtua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi, apakah pernah sedikit pun orangtua memikirkan kebahagiaan anak-anaknya?
Siapa pun orang yang membaca surat itu ia akan terbawa emosional setelah membacanya.
Sementara Alena merasa sedih. Bevan mengatakan katanya akan ada keajaiban hari ini, tapi kenyataannya itu tidak terjadi sama sekali. Alena tengah berbaring tengkurap di kasurnya seraya menangis tanpa suara.
"Bunda Alena rindu," lirih Alena seraya menatap pigura yang terdapat foto Bunda tengah tersenyum.
Andaikan Alena bisa melihat yang terjadi di hadapannya. Kini Bundanya tengah melihatnya. Bundanya juga bisa merasakan kesedihan yang dialami putrinya. Tangannya mengusap puncak kepala Alena.
Terdengar suara langkah kaki menuju kamarnya. Dengan cepat Alena mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Kemudian, disimpan kembali pigura di atas nakas kecil. Alena pun membenarkan posisinya menjadi duduk di samping ranjang dengan menghadap ke Balkon. Bersikap seolah dirinya baik-baik saja.
Ayah duduk di samping Alena dengan pandangan tertuju pada Balkon. Hening, tak ada suara di antara mereka, keduanya saling terdiam satu sama lain. Ayah tahu saat ini putrinya merasa sedih. Ia merasa sangat buruk sebagai orangtuanya. Bahkan ia sendiri tak pernah sedikit pun memberikan kebahagiaan kepada putrinya.
"Lihat, ada kupu-kupu. Orang bilang itu pertanda ada tamu spesial yang datang," ujar Ayah Alena seraya menunjuk pada seekor kupu-kupu putih terbang mengelilingi balkon.
Tamu spesial itu adalah Bundanya. Bukan sekali, bahkan berkali-kali Bundanya selalu mengunjungi kediaman rumah Wijaya.
Alena tersenyum kikuk seraya memandang kupu-kupu itu. "Besok Ayah akan pergi ke sekolah untuk mendaftarkan kamu di sana," ujar Ayah Alena. Sontak Alena menoleh ke samping menatap lekat pada Ayahnya.
Sebuah keajaiban benar-benar datang hari ini. Betapa bahagianya Alena saat ini mendengar bahwa Ayahnya memberikan izin dirinya untuk sekolah. Dan Alena sangat senang ketika apa yang dikatakan Bevan itu menjadi kenyataan.
"Ja—jadi, Alena gak akan home schooling lagi?" tanya Alena memastikan.
Ayah mengangguk pelan. Alena langsung memeluk Ayahnya dengan erat. "Alena sayang Ayah," ungkap Alena.
"Ayah juga sayang Alena," balas Ayah Alena seraya memeluk putri semata wayangnya. Tanpa ia sadari sebutir cairan bening berhasil keluar dari pelupuk matanya. Air mata bahagia bukan kesedihan.
Baru kali ini dirinya melihat terpancar kebahagiaan di raut wajah putri semata wayangnya. Sebagai orangtua ia merasa gagal, karena ia selalu mengkhawatirkannya dan membuat putrinya harus terkurung di dalam kamar selama bertahun-tahun.
Esok adalah hari yang bersejarah bagi putrinya. Alena bisa menikmati dunia luar dengan bebas. Meskipun, masih ada kekhawatiran dalam diri Wijaya menyangkut putrinya. Tak ada satu pun dari keluarganya, terutama putrinya sendiri yang mengetahui di balik kekhawatirannya itu. Sebuah rahasia menyangkut putrinya, ia simpan rapat-rapat seorang diri.
Siapa pun orang yang mengirim sebuah surat untuknya. Ia benar-benar berterimakasih kepadanya karena telah menyadarkannya tentang artinya kebahagiaan bagi seorang anak.
•
•
•
•
•
•
•
TBCTinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Love (Revisi)
Teen Fiction"Hai Bidadari cantik, gimana udah bangun? Kalau udah jangan lupa bangunin Bevan ya!" Isi surat itu seperti tidak berarti apa-apa. Namun, siapa sangka isi surat itu mengandung makna terdalam. Alena disadarkan oleh sebuah kenyataan yang sangat menyaki...