Menemaninya

202 24 5
                                    

Setelah Alena dilarikan ke Rumah Sakit terdekat, Bevan segera menghubungi Ayah Alena. Tak sampai lima menit setelah diberitahukan bahwa putrinya pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit, Ayah Alena pun datang. Sangat terlihat jelas di raut wajahnya kepanikan.

Seorang pria dengan memakai jas putih keluar dari ruangan. Sontak Ayah Alena langsung beranjak berdiri, lalu menghampirinya. "Dok, gimana keadaan anak saya?" tanya Ayah Alena.

Dokter Aldi melirik ke arah Bevan. "Mari ikut saya," jawab Dokter seraya berlalu pergi dengan diikuti oleh Ayah Alena dari belakang.

Bevan mengernyitkan keningnya bingung. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Dengan rasa penasaran, Bevan berjalan menuju ruangan Dokter. Bevan mengintip di balik pintu, berharap ia bisa mendengarkan pembicaraan antara Ayah Alena dengan Dokter.

"Keadaan Alena ...." ungkap Dokter.

Sedikit lagi Bevan akan menemukan kebenarannya. Namun, seseorang dari belakang menepuk pundaknya, sontak hal itu membuatnya terkejut. Refleks Bevan menjitak kepala Gio seraya bertanya, "Ngapain sih lo di sini?"

Gio tidak salah, tapi kenapa ia selalu mendapati satu jitakan dari Bevan? Sepertinya Bevan punya dendam terhadap dirinya. "Seharusnya gue yang nanya, ngapain lo ngintip-ngintip kayak gitu?" tanya balik Gio dengan nada emosi.

Yang dilontarkan oleh Gio memang benar, seharusnya Gio yang bertanya bukan dirinya. "Ya—ya gue,” jawab Bevan terbata-bata.

"Apa hayo?" tanya Gio sedikit memancing.

"Apaan sih lo, ganggu aja," elak Bevan seraya berjalan menuju kursi. Kemudian, Bevan duduk di kursi panjang dengan di samping kanan dan kirinya terdapat Gio dan Ciko.

"Nih minum dulu, gue tahu lo pasti shock," tawar Ciko seraya menyodorkan botol air mineral pada Bevan.

Bevan mengambil botol air mineral, lalu meneguknya. Sementara pandangan Bevan tertuju pada seorang gadis yang tengah berada di dalam ruangan. Bevan tak tega melihat Alena yang kini terbaring lemah dengan alat infus yang terpasang di tangan, juga alat bantu oksigen yang terpasang sempurna di hidungnya.

Terdengar suara langkah kaki seseorang menghampirinya. Dilihat ke samping yang tak lain adalah Ayah Alena. Bevan pun beranjak berdiri. "Gimana Om?" tanya Bevan.

Ayah Alena melirik ke samping tepat pada jendela ruangan dimana putrinya berada. "Alena hanya kecapean aja, sebentar lagi dia akan siuman. Om minta doanya aja dari kalian," jawab Ayah Alena.

"Pasti Om kita selalu mendoakan Alena. Dan jangan khawatir Om, selama ada Bos kami, Alena akan baik-baik aja," sahut Gio.

Ayah Alena tersenyum seraya berkata, "Terimakasih banyak, terutama untuk kamu Bevan."

Bevan mengangguk pelan seraya tersenyum. Bevan rasa dirinya belum pantas menerima ucapan terimakasih itu. Karena tadi saja ia tidak bisa menjaganya dengan benar.

Malam berlalu kini sang rembulanlah yang berada di atas langit menggantikan posisi sang surya, menyinari langit yang gelap gulita dengan ditemani bintang-bintang yang berkelap-kelip di atas sana. Sepanjang malam Bevan dan Ayah Alena terus berjaga menemani Alena yang terbaring lemah di atas ranjang. Sebelumnya Bevan sudah meminta izin kepada sang Umi, untuk menemani Alena malam ini saja. Dan Umi pun tidak keberatan dalam hal itu. Sementara  tadi Dokter sudah menyarankan pada Alena untuk beristirahat agar keadaanya bisa pulih seperti semula.

Alena membuka matanya perlahan-lahan, ia pun mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru ruangan. Alena dibuat terkejut, ketika mendapati Bevan yang tengah duduk dalam keadaan tertidur dengan posisi kepala disandarkan di samping ranjangnya, sedangkan Ayahnya tertidur di kursi panjang dengan tangan dilipatkan di atas dada.

Seketika Alena teringat, kenapa dirinya bisa ada di Rumah Sakit. Sempat Alena mengalami sakit kepala dan mimisan. Hal itulah yang membuatnya kini berada di Rumah Sakit. Dan Alena sangat senang, ketika Bevan selalu menjaganya.

Alena membenarkan posisinya menjadi duduk. Bevan yang merasakan pergerakan itu pun langsung terbangun. "Hati-hati," ucap Bevan seraya membantu Alena.

Alena tersenyum padanya. Bevan ini selalu memberikan perhatian kecil maupun besar padanya. "Udah lama nunggu?" tanya Alena.

"Enggak juga," elak Bevan.

"Mau makan?" Alena menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Mau minun?" Lagi-lagi Alena menggelengkan kepalanya.

Bevan mengernyitkan keningnya. Bevan memutar bola matanya ke atas berpikir sejenak. "Mau jadi pacar aku gak?" sindir Bevan sengaja. Sementara Alena terkekeh pelan. "Mau gak? Cepet jawab sebelum kadaluwarsa,” ucap Bevan menambahi.

Bevan selalu berhasil membuat Alena tertawa dalam keadaan hal apapun. "Aku bercanda. Tenang cinta aku tidak ada batasnya untuk kamu,” gombal Bevan. Namun, Alena sudah kebal dengan gombalannya.

"Bohong," ucap Wijaya dalam keadaan tertidur, ia mengigau.

Bevan dan Alena saling melontarkan pandangan satu sama lain seraya tertawa melihat tingkah Ayahnya. Biasanya orang yang mengigau itu dikarenakan terlalu lelah dengan aktivitas yang dilakukan seharian itu.

"Oya, mau denger dongeng gak?" tanya Bevan.

"Boleh,” jawab Alena. Sudah lama Alena tidak mendengarkan dongeng tidur. Biasanya Ayah yang selalu mendongengkannya di saat ia masih kecil.

"Bentar,” kata Bevan seraya mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Bevan mengetik sesuatu pada tombol pencarian. Alhasil ia menemukan sebuah dongeng mengenai Putri dan Pangeran. "Pada jaman dahulu ...." Bevan menceritakan panjang lebar tentang kisah seorang Pangeran yang menunggangi seekor kuda putih yang berhasil menemukan seorang Putri.

Alena senang sekali mendengarnya, kisah Pangeran itu bagaikan kisahnya. Dimana Bevan berhasil menemukan dirinya dan membuat dirinya jatuh cinta. Kisah Pangeran dan Putri selalu berakhir dengan indah, bahkan berujung sampai menikah. Tapi entah, akankah kisahnya dengan Bevan berakhir indah atau berujung sudah? Alena tidak tahu akan hal itu, tapi Alena berharap yang terbaik mengenai percintaannya. Manusia hanya bisa merencanakan tapi Tuhanlah yang menentukan. Skenario-Nya jauh lebih indah dan tak bisa dirubah.

Alena tertidur pulas setelah mendengarkan cerita dari Bevan. Bevan tersenyum melihat Alena yang terlihat begitu cantik, ketika sedang tidur. Bevan mengusap kepalanya seraya berbisik, "I be there for you."

Bevan mengambil selembar tisu, lalu Bevan lipat tisu itu menjadi dua bagian. Bevan mengeluarkan pulpen dari saku jaketnya. Bevan pun menuliskan sesuatu di selembar tisu itu. Bevan simpan selembar tisu di atas ponsel Alena yang disimpan di atas laci.

Bevan memasukkan kembali pulpen ke dalam saku jaketnya, lalu ia pun beranjak berdiri. Sebelum Bevan pergi, ia kembali memandangi wajah Alena dari jauh. Senyum Bevan mengembang dengan sempurna terukir di bibirnya. Bevan pun berlalu pergi, tanpa berpamitan kepada Alena dan Ayahnya yang terlelap tidur.

Tinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤

Without Love (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang