Sebuah tempat dimana menjadi tempat pelarian di saat Bevan sedang ada masalah. Ya, rooftop sekolah. Satu-satunya tempat yang membuatnya merasa tenang. Alena dibuat takjub kala melihat pemandangan dari atas. Alena berjalan menghampiri pembatas tembok akhir.
"Di sinilah tempat yang bisa membuat kita tenang," ucap Bevan berjalan menghampirinya.
Alena menoleh ke samping. "Thanks," ucap Alena seraya tersenyum. Dibalas anggukan oleh Bevan.
Gerbang sekolah terbuka lebar. Semua siswa-siswi berhamburan keluar sekolah. Angkutan umum sudah berjejeran rapih di depan sekolah tengah menunggu. Ada beberapa siswa-siswi yang masih berada di sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan intra.
"Pulang sama siapa?" tanya Bevan yang tengah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Supir pribadi lah bos," celetuk Gio yang berada di ambang pintu bersama Ciko tengah menunggu Bevan.
Bevan menoleh ke arah sumber suara dengan menatapnya dengan tatapan tajam, bak mata elang yang akan menerkam mangsanya. Bevan berjalan keluar kelas beriringan dengan Alena. Diikuti oleh Ciko dan Gio yang berjalan di belakangnya.
Alena mengeluarkan ponselnya dari saku baju. Kemudian, ia membuka layar ponselnya. Namun, tak ada notif pesan dari Ayahnya. Hal ini menandakan Ayah masih berada di rumah atau tidak Ayah sedang dalam perjalanan.
"Mau temani aku dulu main basket?" tawar Bevan.
Alena mengangguk pelan mengiakan ajakan dari Bevan. Dari dulu Alena selalu ingin bermain basket, tapi Ayah selalu memarahinya jika ia bermain basket. Alih-alih dengan alasan takut jatuh. Padahal Alena bisa menjaga dirinya sendiri.
Alena hanya bisa menyaksikan Bevan tengah bermain bola dengan lincah. Sebenarnya ia ingin bermain. Namun, Alena selalu mengingat tentang Ayahnya. Untuk pertama kalinya Alena melihat Bevan bermain dan ternyata Bevan jago. Bevan selalu mencetak point dalam setiap saat.
Sudah terbukti bahwa Bevan berbakat. Jika ditandingi dengan siswa manapun, Bevan yang akan memenangkan pertandingan. Akan tetapi, jika ditandingi dengan Leon sang ketua basket, lebih tepatnya mantan ketua basket yang kini jabatannya beralih pada Bevan sendiri, hasilnya akan seimbang.
Bevan berjalan menghampiri Alena dengan bola yang ada di genggamannya. Bevan menyodorkan bola itu pada Alena. Namun, Alena menolaknya.
"Jangan sia-siakan kesempatan emas,” ucap Bevan.
Benar sekali ucapannya, kesempatan tidak akan datang dua kali. Alena rasa tidak masalah jika dirinya bermain selagi tidak dilihat oleh Ayahnya. Alena mengangguk pelan mengiakan tawarannya. Namun, sebelum ia turun ke lapangan Bevan kembali mengajarinya.
Bevan mengajari Alena dari tahap awal, yaitu menggiring bola, mengoper bola pada tim, pipot, dan melakukan jumpshot pada saat mendekati ring. Bevan menoleh ke samping tepat pada Alena seraya tersenyum. Tanpa sepengetahuan Bevan, Ciko berhasil merebut bola darinya. Ciko menggiring bola ke sana kemari, dan memasukan bolanya tepat pada ring.
"Curang lo Ko," ucap Bevan kembali merebut bola darinya. Bevan menggiring bola ke sana kemari dengan diikuti oleh Ciko. Lagi-lagi, Bevan memasukkan bola pada ring. Kemudian, Bevan kembali mengambil bola itu.
Bevan berjalan menghampiri Alena yang tengah menontonnya dari tadi. "Try it,” perintah Bevan seraya menyodorkan bola pada Alena. Kemudian, Alena mengambil bola itu. Dengan ragu Alena mencoba menggiring bola, walau dirinya mengakui bahwa ia tidak mahir, tapi apa salahnya ia mencoba.
Seorang pria berjalan dengan gontai menyusuri lorong-lorong kelas yang sudah sepi, tidak ada orang yang berlalu lalang. Pria itu mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru. Langkahnya mendadak berhenti ketika melihat tiga orang lelaki dan seorang perempuan tengah berada di lapangan. Seorang perempuan yang tak lain adalah putrinya.
Alena melakukan jumshot pada saat mendekati ring. Namun, saat hendak ia mau meloncat kakinya keseleo, sehingga membuatnya terjatuh. “Aw,” ringis Alena.
“Alena!” teriak seorang pria seraya berjalan dengan langkah cepat menghampirinya.
Tanpa berpikir panjang Bevan membantu Alena untuk berdiri. “Kamu gak kenapa-napa kan?” tanya Bevan khawatir.
Alena mengangguk pelan seraya tersenyum. Agak sedikit sakit di bagian pergelangan kakinya.
"Apa yang kamu lakukan? Bukannya Ayah melarang kamu main basket?” tanya Ayah Alena.
“Tadi Alena cuma main sebentar,” bantah Alena.
Bevan berjalan menghampiri Ayah Alena. "Maaf tuan, tadi saya yang ...."
"Sekarang juga, kamu pulang!" bentak Ayah Alena.
Alena tak bisa berbuat apa-apa lagi, ketika berhadapan dengan Ayahnya. Terlihat dari raut wajahnya kini yang berubah menjadi sedih. Alena berjalan mengikuti Ayahnya dari belakang, tanpa berpamitan pada teman-temannya.
Gio bergidik ngeri melihat perlakuan Ayah Alena. "Lebih dari maung," ucap Gio.
Di sepanjang perjalanan, hening. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka suara. Alena hanya menatap ke samping kaca mobil.
"Maaf," ucap Ayah Alena yang berada di jok belakang bernotabene di samping Alena. Sebenarnya Alena merasa kecewa terhadap Ayahnya. Namun, ia berusaha memaksakan seulas senyuman di hadapan Ayahnya.
Entahlah, Alena bingung pada Ayah. Kenapa Ayah terlalu mengekangnya? Sedangkan dirinya kini bertumbuh besar, tidak seharunya seorang Ayah melakukan hal itu. Hal ini membuat dirinya tidak nyaman.
"Ayah melakukan ini demi kebaikan kamu," ucap Ayah Alena dalam hati.
•
•
•
•
•
•
TBCTinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Love (Revisi)
Teen Fiction"Hai Bidadari cantik, gimana udah bangun? Kalau udah jangan lupa bangunin Bevan ya!" Isi surat itu seperti tidak berarti apa-apa. Namun, siapa sangka isi surat itu mengandung makna terdalam. Alena disadarkan oleh sebuah kenyataan yang sangat menyaki...