Tidak Semua Masalah Harus Diceritakan

376 44 12
                                    

"Tidak semua masalah harus diceritakan, terkadang kita harus menyimpannya rapat-rapat."
Bevan Deonandra Fernandes

Hingga tiba di rumah kediaman Wijaya. Terlihat di depan teras Ayah Alena tengah menunggu. Alena berjalan menghampiri Ayahnya seraya membawa sepuluh balon helium yang sudah diikat menjadi satu.

"Assalamualaikum Ayah," salam Alena seraya mencium telapak tangan Ayahnya. Diikuti oleh Bevan dari belakang.

"Waalaikumsalam. Ini ada apa? Kok bawa-bawa balon?" tanya Ayah Alena bingung.

"Gak ada apa-apa kok Yah," jawab Alena seraya tersenyum.

Bevan tersenyum kikuk pada Ayah Alena. "Baiklah Om, kalau gitu Bevan pamit pulang, assalamualaikum," pamit Bevan seraya kembali mencium telapak tangan Ayah Alena.

"Waalaikumsalam," jawab salam Ayah Alena.

Bevan melambaikan tangannya kepada Alena seraya berkata, "Dah Al."

Alena membalas lambaian tangannya seraya tersenyum. Bevan pun berjalan menuju motornya yang terparkir di pekarangan rumah Alena. Diperhatikan dari jauh oleh Ayah dan Alena.

"Al, Ayah mau tanya," ucap Ayah Alena.

Alena menoleh ke samping tepat pada Ayah. "Tanya apa Yah?" tanya Alena seraya mengernyitkan keningnya.

"Yang tadi itu Bevan?" tanya balik Ayah dengan pandangan masih tertuju pada Bevan.

Alena mengangguk pelan seraya menjawab, "Iya Yah, kenapa?"

"Ayah pikir itu pengantar pizza, soalnya wajahnya mirip banget," ungkap Ayah Alena.

Alena terkekeh pelan. Bagaimana bisa Ayah menyimpulkan bahwa Bevanlah sang pengantar pizza misterius? Alena hanya menggeleng pelan seraya berkata, "Ada-ada aja Ayah ini." Kemudian Alena pun masuk ke dalam rumah.

Sementara Ayah masih mematung di teras. Ia masih terus bergulat dengan pikirannya sendiri.

Hari mulai gelap, ketiga lelaki itu tengah berkumpul di kamar Bevan, sudah seperti biasanya seraya menunggu Bu Frida datang. Meskipun banyak sekali tempat yang bisa menjadi tempat berkumpul di rumah Bevan, tapi satu-satunya tempat ternyaman, yaitu di kamar Bevan. Sejuk rasanya jika berada di sana. Tak hanya itu di sana Gio bisa bermain ps, sedangkan Ciko sangat menikmati berdiam diri di balkon.

"Lo masih inget gak Yo? Waktu kita bertiga main sepeda, lo kencing gegara dikejar kucing," tutur Ciko yang tengah duduk di sofa balkon.

Pipi Gio memerah bak kepiting rebus. Malu? tentu saja. Pertama kali Gio melakukan hal bodoh itu. "Sut aib woy, aib," gerutu Gio.

Bevan terkekeh pelan seraya berkata, "Aib lo banyak Yo, lo mau gue ceritain satu-satu?" sindir Bevan yang tengah bermain gitar.

"Tuhan, kenapa sahabat-sahabat hamba selalu membuli hamba?" tanya Gio seraya menatap langit. Ciko dan Bevan berhasil dibuat tertawa oleh tingkah Gio.

Terdengar suara klakson mobil dari bawah yang membuat Bevan langsung menghentikan aktivitasnya. Disimpan gitarnya itu di sofa balkon, lalu Bevan berjalan keluar dari kamar. Sementara Ciko dan Gio pun langsung mengikuti langkah Bevan.

Langkah Bevan terhenti di anak tangga terakhir, kala melihat seorang pria tengah duduk di sofa tamu. Bevan mengepalkan tangannya dengan erat.

"Tahan," ucap Ciko seraya menepuk bahu Bevan.

Bevan menghela napas sejenak, lalu ia turun ke bawah dengan langkah gontai. Seolah tidak ada beban dengan diikuti oleh Ciko dan Gio. Bevan berbelok arah menuju dapur. Bevan pun mengambil gelas. Kemudian, ia menuangkan tiga sendok makan kopi bubuk. Lalu menambahkan air hangat secukupnya. Setelah itu diaduk hingga rata.

Ciko dan Gio saling melontarkan pandangannya satu sama lain, ketika melihat Bevan yang bertingkah aneh tidak seperti biasanya, terutama pada Abinya. Kedua sahabatnya itu merasa seperti ada yang tidak beres.

"Bevan," panggil Abi seraya tersenyum pada Bevan. Sekian lama akhirnya, Bevan kembali memperlakukan dirinya layaknya seorang putra kepada Abinya, bukan kepada musuhnya.

Bevan tersenyum lebar seraya menaruh secangkir kopi di atas meja. Tanpa berpikir panjang, Abi pun mengambil secangkir kopi yang sudah dibuatkan oleh putranya dengan penuh kasih sayang. Abi pun menyeruput kopi hangat itu. Sesuatu yang tak terduga terjadi. Abi menyemburkan kopi dalam mulutnya. Kopi yang pahit tidak sesuai dengan ekspetasinya.

Bevan tersenyum miring seraya berjalan mendekat pada Abinya. "Itulah kehidupan yang sekarang Anda jalani," sindir Bevan sengaja. Bevan pun berlalu pergi keluar dari rumahnya.

Dari tadi Ciko dan Gio terus mencari Bevan. Namun, keduanya tidak menemukan Bevan sama sekali. Hingga di sebuah taman, Gio melihat seorang lelaki tengah duduk dengan keadaan menunduk.

"Ko itu si Bevan," kata Gio seraya menepuk pundak Ciko. Tanpa ba-bi-bu keduanya pun langsung berlari menghampiri Bevan.

"Gue cari-cari dari tadi, ternyata lo ada di sini," gerutu Gio seraya duduk di samping Bevan.

"Lo itu kenapa sih Van? Ada masalah lagi sama Abi?" tanya Ciko.

Bevan menggeleng pelan seraya tersenyum. "Lo pada perhatian banget sama gue," sahut Bevan sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

Gio beranjak berdiri seraya bertanya, "Selama ini lo kemana aja, hah? Selama kurang lebih 5 tahun, lo gak nyadari perhatian dari kita? Sahabat macam apa lo?"

Membicarakan soal sahabat Gio yang paling emosional. Bahkan hal kecil pun Gio selalu besar-besarkan. Pernah kala itu persahabatan antara Gio, Ciko dan Bevan hampir renggang. Karena Gio selalu iri pada Ciko, dimana Ciko selalu dekat dengan Bevan. Seolah kehadiran Gio tidak dianggap sama sekali.

"Gue bercanda Yo," jawab Bevan seraya tersenyum. "Gue beruntung punya sahabat kayak kalian yang selalu ada buat gue," sambung Bevan.

Netra Gio mulai memanas, seolah air matanya akan keluar dari pelupuk matanya.

Bevan beranjak berdiri. "Cengeng lo," sindir Bevan seraya menepuk pundak Gio. "Yaudah ayo, gue teraktir beli ice cream," kata Bevan menambahi seraya berlalu pergi. Ciko merangkul bahu Gio seraya berjalan mengikuti Bevan dari belakang.






TBC

Tinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤

Without Love (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang