“Al, Ayah keluar bentar ya,” pamit Ayah Alena.
“Kemana Ayah?” tanya Alena.
“Ada urusan bentar aja kok,” jawab Ayah Alena seraya mengelus puncak kepala Alena.
Kenapa Ayah mendadak berubah? Sebenarnya apa yang Ayah sembunyikan darinya? Tidak seperti biasanya Ayah pergi mendadak. Alena berusaha berpikir positif, mungkin saja ada urusan di kantor.
Sementara di sisi lain kini Bevan tengah menunggu di depan ruangan. Perasaan yang tidak bisa digambarkan. Hatinya perih sekali seperti tersayat pisau tajam. Ada lingkar hitam di bawah matanya. Bevan tidak tidur semalaman. Bevan terus saja berjaga dengan duduk di luar ruangan.
"Van," sapa Jery seraya duduk di sampingnya.
Bevan mengusap pipinya yang basah. "Eh Jer, lo ngapain di sini?" tanya Bevan seraya mengedarkan pandangannya.
"Biasa Oma gue. lo sendiri?" tanya balik Jerry. Bevan mengalihkan pandangannya menjadi lurus tepat ke arah jendela. Dimana di ruangan itu terdapat seorang wanita yang terbaring lemas di atas ranjang.
Bevan mendapati kabar buruk setelah ia pulang menuju rumah. Dimana Uminya pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Setelah mendapati kabar buruk itu Bevan langsung bergegas untuk pergi menuju Rumah Sakit. Mengenai hal ini Bevan selalu menyalahkan Abinya. Karena hanya ialah yang membuat semuanya hancur.
Jerry menepuk pundak Bevan seraya berkata, "Lo yang sabar ya Van, gue yakin semuanya akan baik-baik aja."
Bevan mengangguk pelan. Bevan sudah berdoa yang terbaik untuk Uminya, mengenai hasilnya Bevan serahkan kepada sang pencipta.
Seorang perawat keluar dari ruangan dengan membawa map di genggamannya. "Tuan Bevan," panggilnya. Sontak Bevan beranjak berdiri, lalu menghampiri perawat itu. "Ini ada beberapa obat yang harus ditebus di apotek," ucap Perawat seraya menyodorkan secarik kertas. Kemudian, Bevan pun mengambilnya.
"Yaudah gue balik ya Van, semoga lekas sembuh buat Umi lo," pamit Jerry seraya menepuk pundak Bevan.
Bevan berjalan dengan gontai menyusuri lorong-lorong Rumah Sakit. Hingga tiba di sebuah apotek yang terdapat di dalam Rumah Sakit. Bevan mengantri di depan apotek, lumayan penuh apotek kali ini. Hingga beberapa menit kemudian, kini giliran Bevan. Bevan pun menyodorkan secarik kertas lewat celah pada petugas.
Bevan mengedarkan pandangannya ke sana kemari. Banyak orang-orang yang berlalu lalang ke sana kemari. Bevan dikejutkan ketika melihat Ayah Alena ada di Rumah Sakit. Sontak hal itu menimbulkan banyak pertanyaan di benaknya.
"Om Wijaya?" tanya Bevan bermonolog. Saat hendak Bevan mau mengikutinya dari belakang. Namun, seseorang memanggilnya sehingga membuat langkahnya terhenti.
"Tuan," panggil Perawat. Bevan menoleh ke belakang tepat pada sumber suara. "Ini obatnya," ucap Perawat itu seraya menyodorkan plastik obat pada Bevan.
“Terimakasih,” kata Bevan seraya mengambil plastik obat itu. Tanpa berpikir panjang Bevan pun pergi untuk menyusul Ayah Alena yang sudah mulai menjauh. Bevan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ketika ia tidak berhasil menemukan jejaknya.
Pikirannya terus tertuju pada Alena. Lagi-lagi pikiran negatifnya kini sedang menguasai otak Bevan. "Apa mungkin Alena sakit?" tanya Bevan dalam hati. Bevan pun langsung mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Jarinya dengan lincah menari-nari di atas keyboard.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Love (Revisi)
Teen Fiction"Hai Bidadari cantik, gimana udah bangun? Kalau udah jangan lupa bangunin Bevan ya!" Isi surat itu seperti tidak berarti apa-apa. Namun, siapa sangka isi surat itu mengandung makna terdalam. Alena disadarkan oleh sebuah kenyataan yang sangat menyaki...