Perpustakaan itulah tempat kesukaan Ciko yang terkenal dengan si kutu buku. Ciko lebih suka berlama-lama di tempat hening, sepi dan tanpa suara. Selain berteman dengan bola, Ciko juga berteman dengan buku-buku.
Ciko saingan kedua dari Bevan. Mereka hanya terpaut satu angka dalam bersaing di bidang akademik. Ciko sangat dewasa dibanding Gio. Ciko juga berbeda dengan Bevan. Jika kedua orangtua Bevan tidak terlalu mempermasalahkan peringkat Bevan, justru orangtua Ciko berbanding terbalik dengannya.
Kedua orangtua Ciko menginginkan dirinya untuk memasuki peringkat tiga besar. Jika kebanyakan orangtua seperti itu, dengan kondisi anak yang kurang menangkap daya ingat dengan cepat. Mungkin itu akan menjadikannya beban.
Ciko ini berbeda. Meskipun, Ciko sangat menyukai bola, tetapi waktunya Ciko gunakan untuk membaca, tak ada waktu untuk latihan atau bergabung bersama kedua sahabatnya. Selain itu, Ciko mengikuti kegiatan Intra, yakni OSIS yang notabene kegiatannya sangat padat. Ciko lebih aktif di OSIS ketimbang di ekstrakurikuler basket.
Bevan dan Gio tengah berada di ambang pintu sedang berbincang-bincang. Terlihat dari jauh sosok sahabatnya yang satu dengan gontai berjalan ke arahnya. Sudah bisa ditebak, pasti Ciko selesai berkunjung dari perpustakaan, seperti biasa tiada hari tanpa meminjam buku.
"Si kutu dateng," ucap Gio yang berada di pinggir pintu.
"Gue bukan sodaranya lisa," sahut Ciko seraya berjalan melewatinya. Bevan tersenyum dengan memperlihatkan giginya seraya masuk ke dalam kelas.
Gio menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Dikira adiknya kuar," kata Gio. Lalu diikuti olehnya masuk ke dalam kelas.
Gerbang sekolah terbuka sangat lebar. Tentu saja membuat para siswa-siswi berhamburan keluar dari gerbang. Karena ini waktunya pulang. Ada sebagian siswa-siswi yang masih berada di sekolah. Dengan tujuan lain mengikuti kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan Intra.
Sama halnya seperti ketiga lelaki itu. Meskipun, hari ini tidak ada kegiatan ekstrakurikuler basket yang diketuai oleh Bevan, tetapi kedua bersahabat itu seperti biasa selalu berlatih bermain basket, sedangkan Ciko sibuk di dalam forum OSISnya.
Bevan dengan cantiknya memasukan bola ke dalam ring, hingga tercipta point satu angka. Bevan kembali memimpin pertandingan dengan menggiring bola ke sana kemari dengan lincahnya. Gio yang berniatan merebut bola dari Bevan justru membuat Bevan terjatuh, karena tersandung kakinya Gio.
Bruk
"Aw," ringis seorang gadis. Terlihat darah segar yang mengalir di jari telunjuknya.
Seorang pria datang menghampiri gadis yang tengah berada di dapur. Panik itulah yang tergambar di wajahnya. Dengan cepat pria itu mengambil kotak P3K yang berada di lemari atas.
Diusap dengan kapas lembut secara perlahan-lahan. Pria itu pun mengoleskan obat merah pada daerah lukanya. Lalu, pria itu membalut jari telunjuk dengan plester.
"Ayah kan sudah bilang jangan main ke dapur!" bentak Ayah Alena.
Alena hanya bisa menunduk di depan Ayahnya. Entah kenapa Alena merasa ada yang mengganjal di hatinya. Padahal pada saat ia mengupas bawang, ia melakukannya dengan benar.
"Pergilah ke kamar kamu, nanti Mbo Ijah yang siapkan sarapannya," perintah Ayah Alena seraya menyimpan kembali kotak P3K di lemari atas. "Oya, sebentar lagi Bu Frida datang," sambung Ayah Alena.
Bu Frida ialah guru privat Alena sejak Alena masih berusia tujuh tahun, hingga sampai sekarang. Home Schooling itulah yang Alena jalani dari sejak usia dini. Ingin sekali rasanya Alena merasakan betapa senangnya berada di bangku sekolah, tapi apalah daya dia, jika Ayahnya sudah memutuskan tidak bisa diganggu gugat.
Pernah suatu hari Alena meminta pada Ayahnya untuk mengirim dirinya ke sekolah, tetapi Ayah tidak menyetujui hal itu. Ada satu alasan yang membuat Ayahnya sampai tidak menyetujuinya. Sebuah alasan yang sama sekali tidak diketahui oleh Alena sendiri.
Sebenarnya Alena sudah mulai bosan dengan Home Schoolingnya. Alena ingin mencoba dunia baru, banyak hal yang dia inginkan. Pergi ke sekolah itulah mimpi yang ia dambakan sejak kecil. Di sekolah, ia akan mendapatkan banyak teman. Tidak seperti dirinya saat ini yang hanya berteman dengan kegelapan. Andai saja Ayah mendengar isi hatinya saat ini, tetapi Alena tidak bisa berbuat apa-apa. Yang ia bisa lakukan hanya menuruti perintah Ayahnya.
Kini sang bulanlah yang berada di atas langit menggantikan posisi sang surya. Ketiga bersahabat itu tengah berkumpul di ruang tamu dengan buku-buku yang sudah siap disimpan di atas meja, menanti kehadiran guru privatnya. Namun, gurunya tak kunjung datang. Hingga jam kini menunjukkan pukul 19.35. Tidak seperti biasanya terlambat.
Karena terlalu lama menunggu membuat Bevan dan Gio memutuskan untuk bermain game playstation, sedangkan Ciko sibuk dengan buku-bukunya sampai tidak bisa diganggu.
Tok ... Tok ... Tok ...
Terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu, membuat Bevan dan Gio langsung mematikan playstationnya. Keduanya langsung duduk dengan tegap, bersikap serius seolah tengah belajar.
Gio menoleh ke samping tepat pada Bevan seraya berkata, "Bukain bego." Dengan cepat Bevan beranjak, lalu melangkah menuju pintu. Namun, seketika langkahnya berhenti. Bevan pun berbalik arah, ketika ia menyadari Gio memerintahnya.
Bevan menoyor kepala Gio. "Lo bilang apa tadi? Gue bego?" tanya Bevan.
"A-anu Bos," jawab Gio terbata-bata.
Lagi-lagi terdengar suara seseorang mengetuk pintu. "Permisi," ucap Bu Frida dari luar rumah. Bevan pun kembali berjalan dengan langkah cepat menuju pintu. Bevan pun membuka pintu yang tak terkunci.
"Silahkan Bu," ucap Bevan seraya membungkuk memberikan hormat padanya. Bu Frida pun langsung masuk dan duduk di sofa tamu. Bevan pun duduk di lantai bernotabene di samping Gio.
"Bu, tumben datangnya lama," ucap Ciko.
Bu Frida menyimpan buku-bukunya di atas meja. "Tadi Ibu biasa habis ngajar, Ayah dari siswi yang Ibu ajar minta perpanjangan waktu."
"Cewek bu? Gimana cantik gak Bu? Sekolahnya dimana? Rumahnya dimana? Oya namanya siapa?" Gio begitu banyak melontarkan pertanyaan yang tidak penting. Karena merasa geram Bevan pun menjitak kepala Gio yang membuatnya meringis kesakitan.
Bu Frida menggeleng seraya menjawab, "Dia itu home schooling."
"Emang ada ya bu sekolah di rumah?" tanya Gio dengan polosnya.
Lagi-lagi Gio mendapatkan satu jitakan dari Bevan. "Lo itu tinggal di jaman apaan si? Jaman batu?" geram Bevan.
Kini Ciko yang mengangkat suara. "Udah Bu jangan diladenin Si Gio mah, mending kita mulai belajarnya." Ciko yang sudah tidak sabar belajar. Dari ketiga orang bersahabat itu Ciko lah yang paling antusias. Karena Ciko selalu memegang prinsip untuk tidak mengecewakan orangtuanya.
•
•
•
•
•
•
TBCTinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Love (Revisi)
Ficção Adolescente"Hai Bidadari cantik, gimana udah bangun? Kalau udah jangan lupa bangunin Bevan ya!" Isi surat itu seperti tidak berarti apa-apa. Namun, siapa sangka isi surat itu mengandung makna terdalam. Alena disadarkan oleh sebuah kenyataan yang sangat menyaki...