Dering ponsel membuat suasana canggung kembali menjadi normal. Alena mengangkat panggilan dari Ayahnya. Alena hampir saja lupa akan waktu saking asyiknya bermain. Tak terasa jam kini menunjukkan pukul 14.00. Bisa dikatakan rekor terbesar pencapaiannya keluar menikmati dunia luar.
“Tante, Bu, Alena pamit ya, soalnya udah ada yang jemput di depan,” pamit Alena. Setelah berpamitan pada Umi Bevan dan Bu Vidya, Alena pun mencium telapak tangan keduanya.
“Bevan antar sampai depan ya,” pinta Bevan.
Alena mengangguk pelan dengan pandangan menunduk. Bevan pun mengantarkan Alena sampai depan gerbang. Mobil putih terparkir di depan gerbang. Bevan mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Ayah dari Alena. Namun, Bevan tidak menemukannya.
“Alhamdulillah gak ada camer,” kata Bevan refleks dengan nada pelan seraya mengelus dadanya.
“Kenapa?” tanya Alena memastikan.
Bevan menggeleng dengan cepat seraya memperlihatkan senyumnya. “Yaudah mau pulang, kan? Hati-hati,” pesan Bevan refleks tangannya mengelus puncak kepala Alena.
Alena mematung di tempat ketika mendapati perlakuan seperti itu dari Bevan. Alena membalasnya dengan senyuman. Saat hendak Alena mau berjalan menuju mobil. Langkahnya terhenti ketika ia menyadari sesuatu. Alena pun kembali berbalik badan, lalu melanjutkan langkahnya menuju Bevan.
Bevan mengernyitkan keningnya seraya bertanya, “Ada apa?”
Alena tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya. Alena pun melepaskan gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Alena meraih tangan besar milik Bevan. Kemudian, ia memasangkan gelang itu di pergelangan tangan Bevan.
Bevan melepaskan gelang itu. Namun, dengan cekatan Alena menghentikannya. “Tapi ini milik kamu Al. Aku gak ada niatan sama sekali buat milikin gelang ini, tapi untuk milikin kamu itu udah jadi niat awal aku,” kata Bevan. Bisa-bisanya di saat suasana seperti ini Bevan masih saja memberikan gombalan pada Alena.
Alena tersenyum menanggapinya. "Pemiliknya suatu saat akan pergi dari Bumi, sedangkan gelang ini akan tetap abadi," sahut Alena.
Tak bisa Bevan mendengar hal itu. Netranya mulai memanas, seolah sebutir cairan bening akan keluar dari pelupuk matanya. Tanpa berpikir panjang Bevan memeluk Alena dengan erat. Membiarkan air mata itu jatuh melintasi pipinya. Dengan ragu Alena membalas pelukan darinya. Keduanya benar-benar tenggelam dalam dekapannya satu sama lain.
Suara dari belakang sana berhasil menghentikan aktivitas kedua insan itu. Bevan dan Alena saling memalingkan pandangannya satu sama lain, bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Itulah anak muda, jika sudah ketahuan oleh orangtua akan berlagak polos.
“Ternyata anak Umi mulai berani ya,” sindir Umi Bevan.
Bevan menyeringai pada Uminya. Sementara Alena tidak berani menatap Umi Bevan, ia hanya menunduk. Seorang pria berjalan menghampiri ketiga orang itu. Pria itu membungkukkan badannya memberikan hormat pada seorang wanita di hadapannya. Umi Bevan pun mengangguk memberikan hormat padanya.
“Maaf sebelumnya menganggu, saya di sini diperintahkan untuk mengajak Non Alena pulang,” kata Pria itu.
“Tidak menganggu sama sekali, silakan,” sahut Umi Bevan.
Alena pun menyalami Umi Bevan sebelum ia kembali ke rumahmya. “Alena pamit Tante,” pamit Alena.
Di sisi lain Bevan mengangkat tangannya di udara dengan harapan Alena melakukan hal yang sama seperti pada Uminya. Namun, Bevan malah mendapati pukulan oleh Uminya.
“Belum waktunya,” pesan Umi mengingatkan. Bevan hanya menyeringai seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
•
•
•
•
•
TBCTinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Love (Revisi)
Teen Fiction"Hai Bidadari cantik, gimana udah bangun? Kalau udah jangan lupa bangunin Bevan ya!" Isi surat itu seperti tidak berarti apa-apa. Namun, siapa sangka isi surat itu mengandung makna terdalam. Alena disadarkan oleh sebuah kenyataan yang sangat menyaki...