ARBO-08

637 81 8
                                    

Jimin tengah memegang sebuah gelas yang berisikan alkohol. Telunjuk kanannya terus menghantam badan gelas itu senada dengan bunyi detak jam yang dia pakai. "Bisa tidak jika kita menikah?" pertanyaan itulah yang keluar dari mulutnya tepat setelah bibir tebal itu menunjukan sebuah senyum asimetri. Suhu dingin di cafe ini menjadi saksi bisu atas keberanian seorang Gwan Jimin yang mengajak Kim Haneul menikah dengan sebuah kalimat yang menggelikan. Haneul berfikir jika Jimin sedang mabuk, pasalnya pria asal Busan itu sudah hampir menghabiskan setengah botol Soju dan terlebih lagi mendengar kalimatnya yang seperti sedang bercanda. "Baik-baik tapi jangan besok. Aku ada jadwal operasi" jawab Haneul kelewat santai.

Namun tatapan Jimin berubah seketika, menjadi lebih tajam, nampak serius dan mematikan "Hey aku ini serius. Mari kita menikah" ajaknya sekali lagi. Haneul memutar bola matanya jengah, tidak tau harus menanggapi serius atau bercanda omongan pria yang ada didepannya ini. Dia hanya tidak ingin tertipu lagi dengan jebakan Gwan Jimin yang sangat sialan.

Haneul masih ingat, dulu Jimin pernah menyatakan perasaannya sekitar 12 tahun silam. Bisa dibilang cinta monyet. Namun ternyata Jimin berbohong, tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Jimin selalu tertawa setelah Haneul menjawab 'Ya, sebenarnya aku juga suka padamu' jaman sekarang orang-orang menyebutnya dengan istilah Prank.

Sejak saat itulah terbentuk mindset didalam otak Kim Haneul jika Gwan Jimin adalah tukang Pemberi Harapan Palsu, maka dari itu saat ini Haneul tidak ingin mengaggapnya hal yang serius. "Terserah kamu saja Jim" seru Haneul dengan nada malas.

"Sungguh, aku berfikir jika kamu adalah kunci kehidupanku" Jimin bersikeras, meyakinkan dan memaksa. Haneul hampir tersedak saat mendengar apa yang diucapkan Jimin barusan, sepertinya dia memang sedang tidak bercanda. Haneul mengangkat kedua alisnya "Benarkah?" Jimin mengangguk, "Baiklah mari kita menikah" Haneul setuju.

Roda pasti berputar, dan keadaan pasti suatu saat akan berbalik, secepat ini juga terjadi diantara Jimin dan Haneul. Kini justru Jimin yang kebingungan atas Jawaban Haneul, nampak seperti persetujuan namun sedikit kearah lelucon "Kau serius kan?" tanya Jimin memastikan.

Haneul menghembuskan napas setelah itu mencondongkan badanya kearah depan, mendekat dengan Jimin lebih tepatnya. "Sesungguhnya, Appa memaksaku untuk segera menikah dan aku tidak percaya pria manapun selain Tahyun" Haneul menjeda ucapanya selama lima detik "Kecuali dirimu"dia menyambung. Setelah bisikan itu selesai Haneul kembali menyandarkan punggungnya di badan kursi. Ekspresi Jimin tidak dapat diartikan, sedih bukan, senang juga tidak, bingung itu iya, kesanya seperti Haneul itu terpaksa menikah dengannya, padahal Jimin itu serius. Tidak sedang bercanda.

"Jadi kamu menerimaku karena terpaksa?" Jimin menyindir.

"Menikahnya terpaksa, tapi bersamamu itu tidak. Aku bersyukur jika menikah dengan orang yang sangat aku kenal daripada harus menikah dengan pria pilihan Appa. Dan mari kita membuat perjanjian tentang pernikahan ini, maksudku beberapa kesepakatan demi kenyamanan masing-masing" cerocos Haneul panjang lebar seperti sedang melakukan Anamnesa kepada pasien.

Jimin mengerutkan keningnya, "Kesepakatan?"

"Ya kesepakatan" Haneul mengayunkan telunjuk kanannya "Pertama jangan ada hubungan suami isteri"

Detik itu juga Jimin menyela ucapan Haneul "Tunggu, apa kau bilang? Tidak ada hubungan suami isteri? Apa kau sudah gila? Haneul-ah tujuan utama orang menikah itu adalah membuat anak, bagaimana bisa kita tidak melakukan hubungan suami isteri?" Jimin protes, begitu tidak terima, sangat tidak terima.

Sontak Haneul menopang kepalanya menggunakan tangan kanan dan sikunya sebagai tumpuan di meja, dia sudah bisa menebak jika Jimin tidak mungkin terima denga hal ini. Sudah pasti tidak mungkin.

ARBORETUM !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang