Love Destiny
•••
"Akuntansi! Akuntasi! Akuntansi! Mual tau, nggak aku denger mapel itu." Riza menghentakkan kaki kesal, sesekali tampak memijat pelipis yang terasa pusing. "Masa aku semalam ngerjain tugas Akuntansi sampai jam 12. Jatah nonton drakor aku jadi berkurang gara-gara tugas sialan itu!"
Zifa yang berjalan di sebelah Riza memutar bola mata malas. Mendengar celotehan unfaedah gadis itu membuat telinganya sakit. "Gue ngerjain, kok cuma sampai jam 8? Otak gue yang terlalu encer atau otak lo yang lemot?"
Dia lantas melipat kedua tangan di depan dada. Pandanganya lurus ke depan, tidak menghiraukan reaksi Riza saat mendengar pertanyaannya barusan. Sorot matanya begitu tajam, mengunci satu titik yang mejadi sasaran. Wajah datar tanpa ekspresi, bibirnya terkatup rapat menolak bersuara. Matanya tak berkedip, membuat siapapun yang melihatnya langsung bisa menebak bagaimana keadaan mood-nya sekarang.
Memang susah sekali menstabilkan ekspresi ketika suasana hati sedang tidak baik-baik saja.
"Emang punya kamu udah selesai?" Riza bertanya balik, sedikit kesal.
"Jelas udah."
"Tumben?" April ikut bersuara, mencairkan suasana di antara mereka.
"Tapi, belum balance. Bodo amatlah, yang penting udah ngerjain." Zifa mendengkus, mengingat kelakukan teman-teman sekelasnya yang suka meminta contekan jika ada tugas.
Apakah mereka tidak berpikir seberapa rumit untuk mendapatkan jawaban tersebut? Sedangkan dengan mudahnya mereka menyalin.
"Lagi nggak mood gue," ucap Zifa lagi. "Jadi males ngapa-ngapain."
Riza yang berjalan dengan di apit oleh Zifa dan April maju beberapa langkah, membalikan badan hingga membuat gadis itu berjalan mundur. "Tau! Keliatan dari wajah kamu."
Zifa hanya mengedikkan bahu tak acuh. Tanpa diminta pikirannya melayang mengingat kejadian kemarin. Dia menggeleng pelan, menolak memikirkan perkataan cowok yang sering menyelinap masuk ke dalam kamar.
"Lo lagi ada masalah?" April menyipitkan mata, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Zifa. Meski tidak ditunjukan secara gamblang, tetapi dia mampu mendeteksi kegelisahan dari diri Zifa.
"Nggak." Zifa menghela napas berat. "Mood gue aja yang lagi kurang bersahabat."
April mengangguk, terpaksa mempercayai jawaban tersebut. Entah benar-benar jujur atau sekedar alibi belaka.
"Hai!"
Hampir saja kata kasar keluar dari mulut Zifa kala kakak kelasnya itu---Nadin merangkul bahunya tanpa permisi. Siapa yang tidak terkejut ketika dihadiahi tepukan pula pada puncak kepala?
Dia lantas melempar senyum. Entah sekedar perasaan sahaja atau bukan, Zifa merasa jika sorot aksa Nadin lebih dominan terpusat kepada dirinya seorang.
Sok akrab banget, nih Kakak kelas!
Riza diam-diam mendesis kemudian sengaja menyingkirkan tangan Nadin dari pundak lalu beralih berdiri di sisi Zifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny : Sebatas Luka [Selesai]
Подростковая литератураNOTED: Terinspirasi dari kisah nyata. New version! _________________________________________ Luka memang nyata. Namun, mengapa setiap luka yang Zifa dapat selalu berasal dari kaum adam? Luka dari tetangga, selingkuhan sang ibu, teman baru, dan pal...