°Love Destiny 48°

203 19 27
                                    

Love Destiny

•••

Cahaya matahari di luar sana masih terlihat redup, bahkan ruangan yang diisi oleh dua orang itu tampak temaram. Angin pagi yang berhembus tenang menyelinap masuk melewati berbagai celah, membelai setiap pipi hingga memberi kesan sejuk. Rasa panas yang sempat mendominasi kepala perempuan korban jambakkan itu pun terkikis.

Bulir bening yang sedari tadi jatuh terus mengalir menerobos pertahanan. Kedipan kelopak matanya tak berhasil menghalau, justru air mata itu bertambah gencar membasahi pipi. Apalagi setelah tamparan keras dilayangkan dengan begitu kejam.

"Lo berani bantah gue, hm?" tanya si cowok bertindik satu. Jemarinya mencengkeram kedua pipi perempuan yang terduduk di lantai dengan posisi kaki tertekuk. "Kenapa lo nggak mau laporin Andra ke polisi? Lo udah berani ngelawan gue?"

"Ng---nggak." Kepala si perempuan menggeleng pelan. Tangannya sesekali berusaha melonggarkan cengkeraman yang dia dapat. "D---dia nggak salah. Kenapa aku harus lap---"

"Kalo gitu, lo yang bakal gue laporin!" Si cowok perlahan melepas cengkeramannya. "Gimana? Masih mau ngebantah, hm?"

Dia tak langsung menjawab, memilih menunduk seraya terisak pelan lalu mengusap pipinya sendiri yang berdenyut nyeri. Terlebih, sejak semalam tenggorokan sama sekali belum menelan apa pun meski sekedar air putih. Hingga perutnya terasa melilit sekarang.

"A---aku capek," cicitnya kemudian. "Aku nggak mau lagi nurutin kamu. Maaf ...."

"Huh? Lo ... beneran berani?"

"Aku nggak tau salah aku apa. Padahal di sini, posisi aku yang jadi korban kamu."

"Korban? korban apa yang lo maksud, hm?"

Pihak perempuan menggigit bibir bawahnya takut. Tangannya menggenggam erat kain baju yang raga kenakan. Lidah kelu, suaranya tertahan di tenggorokan. Niat ingin berteriak sebagai pertanda luapan emosi terurungkan dalam sekejap.

Mengetahui ketakutan yang terpampang di depannya, cowok itu menyeringai. Telapak tangan terulur, mengusap lembut perut yang semakin hari terlihat membuncit. "Korban ini maksud lo?"

"I---iya."

"Terus sekarang mau lo gimana?"

"A--aku mau pergi dari sini."

Pergi? Kata itu sukses memancing tawa menggelegar. Cowok berjaket coklat lantas berdiri, menatap tajam sosok yang tampak mengenaskan tersebut. "Boleh. Tapi, nanti. Setelah urusan kita selesai!"

"Wa?"

Atensi pemilik nama seketika beralih. Menyambut kedatangan seseorang yang membawa sesuatu di sebelah tangan. Cahaya luar yang masuk melalui celah pintu, menerangi wajah yang awalnya terlihat samar sebab tertelan kegelapan.

Dewa tersenyum miring.

"Ini obat pesenan lo. Sesuai permintaan," ucap orang yang barusan masuk, memberikan sekantong keresek hitan. "Ini tugas terakhir gue 'kan? Kalo gitu gue permisi dan jangan lupa transfer bayaran. Good luck."

"Tunggu aja dan satu lagi tugas lo. Tutup mulut."

Sepeninggalan orang yang selama ini menjadi tangan kanannya, Dewa berjalan mengambil segelas air yang sudah disediakan. Senyum lebar menghiasi wajah tampan yang justru terlihat mengerikan.

Love Destiny : Sebatas Luka [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang