°Love Destiny 9°

513 48 17
                                    

Love Destiny

•••

Riuh. Itulah keadaan kelas X1 IPS 2 sekarang. Jam pelajaran sejarah yang seharusnya sedang berlangsung harus kosong akibat guru bersangkutan berhalangan hadir. Suara gelak tawa memenuhi ruangan X1 IPS 2 itu, mereka tampak bahagia karena terbebas dari tugas pengganti jam kosong.

Di meja pojok paling belakang, Nadin menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan. Suara sesenggukan terdengar samar. Bisa ditebak jika gadis berwajah cantik, tetapi sedikit pucat itu tengah menangis. Bahkan suara gelak tawa teman-teman sekelasnya pun dia abaikan.

Beberapa murid sesekali mencoba bertanya padanya. Namun, hanya dijawab melalui gelengan kepala oleh Nadin.

Detik berikutnya, wajah Nadin dibuat perlahan mendongak saat menyadari terdapat seseorang mengisi kekosongan kursi di sisi. Dia lantas kembali menenggelamkan wajah seperti semula kala mengetahui siapa orang tersebut.

Cowok dengan satu kancing seragam teratas terbuka itu menghela napas kasar. Dia melirik Nadin, sebelum akhirnya berucap, "Oke. Nanti gue temenin buat makan ice cream sama nonton."

Selang beberapa detik, Nadin mengangkat kepala. Dia mengusap sendiri air mata yang jatuh membasahi pipi menggunakan punggung tangan. "Ben---beneran? Nggak karena terpaksa 'kan?" tanyanya seraya memainkan jari-jari. "Kalo terpaksa aku---"

"Nggak," sahut Andra cepat.

Nadin menegakkan tubuh. Telunjuk bergerak cepat menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga. "Tapi, nanti nontonnya jangan yang serem-serem kaya horor gitu, ya. Aku nggak suka," ujarnya manja.

Untuk kedua kalinya Andra menghela napas. "Iya. Terserah lo aja."

Nadin mengulas senyum. Ekspresi muram seketika berganti ukiran manis di bibir ranum. "Cuma kita berdua 'kan?"

"Lo mau ngajak sekelas juga nggak papa."

Nadin mengembungkan pipinya guna merespon jawaban Andra kemudian dia tersenyum senang.

Kala Andra hendak beranjak, Nadin lebih dulu menyambar tangan kiri cowok pemilik iris mata hitam itu. Dia mengusap lembut punggung tangan Andra kemudian berucap lirih, "Makasih."

•••

Riza terlihat berkutat dengan kalkulator berukuran kecil. Dia berjuang mengerjakan tugas akuntasi pemberian sang guru sebagai bentuk latihan. Sebenarnya, dirinya sangat malas mengerjakan soal-soal akuntansi yang penuh dengan angka ini. Bisa saja dia tidak mengerjakan tugas menjengkelkan itu, tetapi Bu Dena mengancam akan memberikan nilai C.

Siapa pun pasti akan ogah-ogahan jika harus menghitung uang tanpa wujud seperti halnya akuntasi. Terlebih sudah menghitung berulang kali, tetapi tak kunjung mendapat hasil balance. Benar-benar memuakkan!

"Udah aku hitung berulang kali, tapi nggak balance-balance! Nyebelin banget, sih!" geram Riza meremas pinggiran meja.

Dia menekan tombol angka kalkulator keras-keras berharap kalkulator yang dikira rusak dapat berfungsi lagi. Mengusung kejengkelan, gadis berkepang satu itu mengambil kalkulator menganggur milik Zifa. Siapa tahu menggunakan alat penghitungan berbeda lekas menemukan jawaban benar.

Love Destiny : Sebatas Luka [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang