Love Destiny
•••
Zifa memandang pantulan wajahnya sendiri di depan cermin. Sesekali dia tersenyum tipis dibarengi dengan sorot mata yang sendu.
Surai yang tadinya terikat menjadi satu kini tergerai bebas. Jam berbentuk segi empat di dinding kamar sudah menunjukan pukul 21.30 WIB, pertanda waktu untuk memperistirahatkan diri telah tiba. Piama yang biasa dia kenakan untuk tidur juga sudah melekat rapi di tubuh.
Namun, itu hanyalah sebuah kebiasaan yang terusik oleh keberadaan seorang lelaki di jendela kamar Zifa. Dia tampak duduk bersandar di sana sembari memegang sebatang rokok di tangan.
Kepulan asap sukses membuat pernapasan Zifa sedikit terganggu, belum lagi hawa dingin dari luar memberi efek dingin bagi kulit. Namun, semua itu berusaha dia abaikan kala seringai menyeramkan terpampang jelas di depan mata.
"Lo beruntung malam ini. Gue rasa, gue nggak perlu memperjelas semuanya," ucap Tama tanpa memandang Zifa yang sedang duduk di atas ranjang.
Gadis berambut tergerai itu meringkuk. Sama enggannya memandang sosok pengganggu di jendela sana.
Tentu Zifa mengerti apa maksud dari perkataan Tama barusan. Bahkan sangat mengerti karena kata-kata tersebut terlalu sering si telinga dengar.
"Nggak mau ngomong sesuatu?"
Zifa tersentak. Lamunannya buyar, raut wajah berubah seketika. "Nggak," balasnya lirih nyaris berbisik.
"Yakin? Tapi keliatannya, lo pengin nyampein sesuatu?" Tama menaik turunkan kedua alis. Kali ini Pandangannya sudah teralihkan pada Zifa.
Sang empu menundukkan wajah dalam-dalam, lantas meremas selimut yang digunakan sebagai penutup kaki. Lidahnya terasa kelu, meskipun sekedar untuk berucap satu kata.
Menggigit bibir bawah, dia memilih kembali bungkam. Saat ini hatinya merasa takut. Namun, jika Zifa tidak mengatakan sekarang, kapan lagi waktu tepat akan datang?
"Gue nggak sejahat yang lo kira. Gue juga nggak seliar yang lo duga." Tama menyesap rokok yang lama kelamaan memendek. Salah satu kakinya ditekuk, sementara kaki lainnya dibiarkan lurus bebas. "Maksudnya, bisa aja gue lebih dari apa yang lo pikir."
Kekehan Tama justru kian menimbulkan praduga negatif dalam benak Zifa. Napasnya mendadak memburu, tetapi sebisa mungkin dia tahan seraya berpura-pura terbatuk. Sesekali jua menarik napas panjang lantas dihembuskan perlahan.
"So, ada yang mau lo tanyain? Atau sampein?"
"Berhenti." Dalam satu tarikan napas, hanya kata itu yang berhasil Zifa lontarkan.
"Berhenti?" Tama mengerutkan dahi. "Gue butuh waktu buat mikirin permintaan lo. Atau ... itu justru sebuah perintah?" Senyum miring lagi-lagi terbit menghiasi wajah pemuda yang memakai celana jeans sobek di bagian lutut.
Sebenarnya, bisa saja Zifa berteriak. Sehingga orang tuanya mengetahui kelakuan Tama. Namun, pemikiran mengenai segala akibat setelahnya menenggelamkan keinginan berseru.
Dia hanya bergeming. Memikirkan bagaimana nasib dirinya ke depan nanti.
"You don't need to be afraid." Tama membuang puntung rokok miliknya ke luar. "Setidaknya untuk sekarang." Dia turun dari jendela, lalu mendekat ke arah Zifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny : Sebatas Luka [Selesai]
Novela JuvenilNOTED: Terinspirasi dari kisah nyata. New version! _________________________________________ Luka memang nyata. Namun, mengapa setiap luka yang Zifa dapat selalu berasal dari kaum adam? Luka dari tetangga, selingkuhan sang ibu, teman baru, dan pal...