°Love Destiny 33°

248 18 14
                                    

Love Destiny

•••

Netra Andra terus mengarah pada gadis di depan mata. Gelagat aneh yang ditunjukan secara diam-diam tak lepas dari penglihatan. Mulai dari menyelipkan anak rambut berulang kali bahkan menggeser kursi secara pelan-pelan. Perubahan air muka Zifa pun terlihat begitu jelas. Bibir yang terkatup rapat, tak ada niatan tersenyum meski sedikit, mempengaruhi aura gadis itu.

"Kenapa?" tanya Andra memulai pembicaraan.

Sontak Zifa mendongak. "G---gue?"

Andra hanya bergumam. Meskipun demikian, kali ini dia bisa menatap leluasa manik coklat Zifa. Membuat sang empu memalingkan wajah cepat.

"Nggak papa. Gue cuma risih aja diliatin kaya sekarang," jawab Zifa jujur. "Gue nggak suka jadi pusat perhatian. Lagian kenapa, sih mata mereka liat ke sini terus. Kaya nggak ada objek lain. Pengin gue colok rasanya!"

Sudut mata Andra melirik ke belakang, memastikan perkataan Zifa. Ternyata benar. Pandangan beberapa murid sedang menyorot ke arah mereka. Disusul bisik-bisik berupa gunjingan yang dominan mengarah pada Zifa.

"Abaikan," kata Andra dingin.

Zifa berdecih lirih. "Pasti gara-gara gue ke sini sama lo. Makanya mereka kaya gitu."

"Mungkin."

"Ngeselin!"

Melupakan segala kemungkinan yang ada, detik berikutnya Zifa menatap balik Andra. Mencondongkan wajah ke depan seakan siap membisikan sesuatu. "Btw .... kok, tadi lo bisa tiba-tiba nongol?"

Andra terdiam cukup lama. Jika saja Zifa memesan makanan atau minuman, pasti dia bisa menunggu jawaban sembari menghabiskan semua itu. Namun, situasi saat ini berbeda. Zifa justru menopang dagu--- menunggu kalimat balasan meluncur.

"Ck, jawab napa! Malah diem kek patung." Zifa menjentikkan jari, menyadarkan lamunan cowok berparas tampan itu.

"Harus?" Menyenderkan punggungnya di kursi sembari melipat kedua tangan di dada, Andra malah memasang tampang datar andalan. Bersikap abai seolah pertanyaan Zifa tadi sekedar angin lalu.

"Nggak, sih. Ya, udah. Gue juga nggak maksa lo buat jawab," kata Zifa. "Oh, iya. Soal kemarin ... lo lupain aja, ya. Anggap aja gue nggak pernah gitu sama lo."

Dahi Andra berkerut samar tak mengerti. Pasalnya kata 'soal kemarin' terlalu ambigu.

Zifa tampak berpikir. Bola mata bergulir ke sana ke mari. Meneliti situasi sekitar. Kedua tangannya lantas menarik kursi ke depan, hingga dadanya menempel ke sisi meja. "Soal gue yang nangis sambil meluk lo."

Spontan dia menangkup pipinya malu-malu. Menghalau Andra memergoki warna merah yang sekarang mendominasi di sana. Meski Zifa yakin bahwa Andra pasti sudah melihatnya lebih dulu.

"Ada apa sama pipi lo?" Nada bicara Andra terdengar menggoda. "Lo---"

"Nggak. Nggak papa!" Zifa menyela. Kepala gadis itu kembali menunduk sampai juntaian rambut panjangnya menutupi sebagian pipi yang merona.

"Pipi lo merah." Andra berkata seraya terkekeh Rendah. Secara tak sadar membuat Zifa terpana kesekian kali. Ditambah suara seraknya tadi berhasil meningkatkan kecepatan debaran si jantung!

Love Destiny : Sebatas Luka [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang