°Love Destiny 24°

261 25 16
                                    

Love Destiny

•••

Nadin terduduk di sofa sembari memangku toples kaca berisikan keripik singkong. Di depannya kini terdapat sebuah televisi yang menayangkan acara favorit. Matanya fokus menatap ke depan, sedangkan tangan kanannya sesekali memasukan keripik ke dalam mulut.

Adegan yang menampakan seorang lelaki memasangkan cincin pada jari manis sang perempuan seketika membuatnya berkhayal tinggi. Berandai-andai bahwa mereka adalah dirinya dan Andra. Senyum bahagia terukir sempurna di bibir gadis cantik itu. Tunggu saja di saat waktu yang tepat. Pasti khayalan tersebut akan menjadi kenyataan.

"Kalo gue sama Andra bisa kaya mereka, pasti hidup gue bakal bahagia banget."

Namun, detik berikutnya, saat ingatan tentang perkataan Andra di UKS beberapa hari yang lalu kembali terngiang, senyum di bibir Nadin  pudar. Berganti cengkraman erat pada toples di tangan.

"Apa gue perlu cara kasar buat misahin mereka berdua?"

Nadin tersentak kala seseorang memeluknya dari belakang, lantas mengecup puncak kepalanya sekilas. "Malam sayang."

Seketika bulu kuduk merinding. Geli dengan perlakukan Dewa---kakanya itu. Entahlah. Dia merasa jika perlakuan Dewa padanya terkadang terlalu berlebihan. Melebihi perlakukan seorang kakak kepada adik.

"Kakak apa-apaan, sih! Aku risih tau!" ujar Nadin kesal. Melepas kedua tangan Dewa yang bertengger di bahu.

"Kenapa, hm?" Dewa mengambil posisi duduk di sebelah adiknya itu. "Kamu lagi mikirin Kakak, ya?"

Memutar bola mata jengah, Nadin mendelik sebal pada Dewa. "Pede banget! Kakak ngapain, sih tiba-tiba ke sini? Ganggu aja!"

Dewa tersenyum, memperhatikan raut kesal Nadin. Justru di saat sedang kesal seperti inilah kecantikan Nadin bertambah. "Kakak kangen sama kamu. Jadi, Kakak ke sini buat ...." Menggantungkan ucapannya, dia semakin bergeser mendekati Nadin.

Otomatis gadis itu meletakan toples tadi ke atas meja sebelum memukul Dewa menggunakan bantal kecil.

"Kakak jangan deket-deket! Awas aja kalo berani deket-deket, aku bakal teriak manggil Mamah sama Papah!" ancamnya dengan tatapan tajam. Kedua kakinya sudah ditekuk ke atas sofa, melindungi diri dari Dewa. "Jauh-jauh sana!"

"Nggak papa kalo kamu berani."

"Mamah, Pap---"

Cup!

Mata Nadin melebar. Jantung berdegup tak karuan. Refleks tangan kanan memegang pipinya yang sudah dicium oleh Dewa barusan. "Kakak! Kurang ngajar!"

Dewa justru tertawa terbahak-bahak melihat respon adik kesayangannya itu. "Gimana? Masih berani ngancam kakak?"

Mata Nadin memerah. Hampir menangis jika Dewa tidak mengelus pipinya penuh sayang. "Udah. Nggak perlu nangis. Kakak, nggak bakal macam-macam kalo kamu nggak kaya tadi."

"Minggir!" Mendorong sebelah bahu Dewa, cepat-cepat Nadin menjauh dari kakaknya itu. Namun, ternyata pergerakan tangan cowok itu lebih dulu mencekal pergelangan.

Love Destiny : Sebatas Luka [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang