Love Destiny
•••
Zifa berlari dengan napas memburu. Gadis itu berhenti, sesekali mengelap peluh yang menghiasi dahi menggunakan punggung tangan. Dia membungkuk, meletakan telapak tangan di masing-masing lutut sembari memejamkan mata guna menetralkan detak jantung tak beraturan.
Setelah di rasa tenang, Zifa kembali menegapkan tubuh. Napas masih terengah, menyelaraskan dada yang naik turun akibat jarak tempuh sedari tadi.
Niat untuk pulang ke rumah harus terbatalkan hanya karena satu orang---Tama. Tanpa diduga, ternyata cowok itu menunggu dirinya tak jauh di depan gerbang sekolah.
Saat mata Tama menangkap keberadaan Zifa yang baru keluar gerbang, seolah ada bunyi alarm tanda bahaya refleks gadis itu langsung kembali masuk. Dia yakin pasti cowok itu akan mengejar, apalagi suasana sekolah terbilang sepi.
Masalahnya, kini Zifa benar-benar sendiri di sana. Kedua temannya---April dan Riza sudah lebih dulu pulang bersama jemputan mereka. Menyisakan Zifa seorang diri di kelas yang tadi sibuk berkutat dengan catatan di papan tulis.
"Nyesel gue, nggak nerima tawaran tebengan Riza tadi!"
Tubuh Zifa menegang ketika derap kaki terdengar di indra pendengaran meskipun samar. Kesunyian ini membuat jantung kembali berdegup kencang. Kadar kepanikan seketika meningkat pesat, seakan situasi teramat mengancam keselamatan.
Gadis berlesung satu itu terlihat bingung harus melakukan apa sekarang. Terlebih kini dia berada di area toilet lelaki. Hingga gerak tubuh terasa ragu meski sekedar bergeser satu langkah.
Hawa panas seolah menyergap, menyeimbangkan keadaan hati yang dipenuhi kekhawatiran. Otak sukar berpikir jernih, tanpa pikir panjang Zifa nekat masuk ke dalam toilet khusus kaum adam di samping. Hanya tempat tersebut yang bisa di jadikan sebagai persembunyian. Anggap saja dia sedang gila! Tak mau mengambil resiko jika harus mencari tempat lain.
Suara langkah kaki itu kian mendekat. Semakin menyusutkan adrenalin seorang Zifa. Dia bersandar di pintu toilet yang telah tertutup rapat, tak lupa membekap mulut sendiri. Disusul keringat dingin bercucuran, cepat-cepat tangannya membuka tas ransel lantas menggambil ponsel. Namun, malah kesialan yang memihaknya. Ponselnya mati!
Gimana, nih?
Membawa keraguan di hati, Zifa mendekati deretan lima bilik toilet. Tatkala sedang berdiri di depan bilik nomor tiga, tiba-tiba tangannya ditarik masuk oleh seseorang. Sebelum pekikan berhasil lolos dari mulut, telapak tangan kokoh tampak membekap mulut. Alhasil suara Zifa dibuat tertahan.
"Diem," bisik sang pelaku tepat di telinga Zifa.
Zifa memberontak, berusaha melepaskan diri. Namun, semua terasa percuma sebab tenaganya tidak sebanding. Kedua tangan pun dicekal erat, sehingga pergerakan tubuh menjadi terbatas.
Posisinya, dia berdiri seraya memunggungi si penarik.
"Diem atau lo bakal kena masalah," ujar cowok itu lagi.
Suara rendah nan beratnya memasuki telinga Zifa dengan jelas. Bak matra hipnotis, kalimat barusan berhasil mempengaruhi ketenangan Zifa.
Dia seperti mengenal pemilik suara ini. Sayang, dia tidak bisa memandang wajah cowok di balik punggung mengingat posisi mereka. Meskipun begitu, dugaan terhadap sosok yang melintas di ingatan tetap terbukti benar.
Decitan pintu menginterupsi, terpaksa Zifa terdiam menurut. Kesekian kali jantung berdebar kencang, secara bersamaan tubuh pun terasa panas dingin. Kedua tangan yang telah lepas dari cekalan mengepal erat. Berusaha menetralkan kecemasan yang mendominasi jiwa, mengembalikan ketenangan raga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny : Sebatas Luka [Selesai]
Подростковая литератураNOTED: Terinspirasi dari kisah nyata. New version! _________________________________________ Luka memang nyata. Namun, mengapa setiap luka yang Zifa dapat selalu berasal dari kaum adam? Luka dari tetangga, selingkuhan sang ibu, teman baru, dan pal...