°Love Destiny 29°

257 23 13
                                    

Love Destiny

•••

Nadin membuka matanya tatkala sebuah telapak tangan membelai lembut dinding pipi. Rasa hangat menjalar, memberi rasa nyaman bagi gadis itu. Namun, sayang. Senyum penghias bibir ranum itu seketika hilang saat wajah lain yang justru muncul. Bukan cowok yang tadi membawanya ke UKS ini.

"Gimana? Udah baikan?" Suara berat tersebut membuatnya memalingkan wajah.

Sungguh. Dia tidak sadar jika sosok ini yang sedari tadi menemani. Padahal Nadin ingin jikalau Andra-lah yang berada di sisi. Bukan malah Kakaknya---Dewa.

"Kenapa? Kenapa kamu nggak mau lihat muka Kakak? Ada yang salah?"

Nadin sontak menggeleng. Dia mendesah kala hembusan napas sang kakak menerpa seluruh wajahnya. Pasti dia sengaja melakukan. "Berhenti, Kak! Nafas Kakak bau!"

Dewa terkekeh. Adiknya ini begitu menggemaskan. Bibirnya yang mengerucut ke depan secara tidak sadar menggugah sesuatu yang berusaha ditahan. "Biasa aja bibirnya. Kalo Kakak khilaf bisa habis kamu!"

Nadin sontak bangun, memukul lengan cowok itu tanpa ampun. "Kakak nyebelin!"

"Kamu ngegemesin."

"Apa, sih! Gombal!"

"Serius."

"Makasih!"

Detik itu juga mereka berdua tertawa bersama. Refleks tangan Dewa terulur lantas mengelus puncak kepala Nadin.

"Ngomong-ngomong Kakak kenapa ada di sini?" tanya Nadin setelah tawa mereka reda. "Bukanya---"

"Andra?" sela Dewa menebak.

Nadin mengangguk semangat. Mendengar nama Andra disebut saja sudah membuat senyum termanisnya terukir. Sebesar itukah efek cowok itu untuk Nadin?

"Kamu memang drama queen." Seringaian Dewa disambut tawa rendah.

"Mau gimana lagi, Kak? Aku lakuin ini semua demi cinta. Cinta aku ke dia."

Dewa tahu semuanya. Mengapa dan sejak kapan Nadin bisa jatuh cinta pada seorang Andra. Bahkan rencana dari awal yang dia gunakan untuk mendapat perhatian dari Andra, Dewa tahu jelas. Termasuk fitnah yang barusan terjadi.

"Segitu cintanya kamu sama dia?" Dewa menatap lekat Nadin dari samping.

"Bukan cuma cinta, Kak. Tapi, sangat cinta." Sudut bibir gadis itu terangkat, mata pun melirik sekilas ke samping. Menilik reaksi sang Kakak setelah mendengar pengakuan barusan.  "Aku harap Kakak ngerti sama pilihan aku. Aku nggak mau jadi orang bodoh yang bilang kalo cinta itu nggak harus memilikin. Menurut aku, itu kata-kata buat seorang pengecut!"

Mata Nadin berbinar senang, keantusiasan bercerita tentang betapa cintanya di kepada Andra terpancar jelas. Menyibakkan selimut yang menutupi kedua kakinya, dia lantas duduk di sisi brankar. Tepat di sebelah Dewa.

"Cinta itu sangat berharga. Bukan rasanya, tapi orang yang buat aku jatuh cinta. Dia ... sangat berharga. Misalkan saat itu aku dan dia nggak dipertemukan, mungkin aku nggak bakal ngerasa kaya gini. Setiap menit bahkan setiap detik, rasa cinta itu semakin dalam. Kian bertambah sampai aku nggak tau cara buat berhenti mikirin dia gimana. Kakak pasti juga ngerasain itu 'kan?"

Love Destiny : Sebatas Luka [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang