1O;

453 66 0
                                    

Wonyoung jalan mengekor kakak-kakaknya, masih dengan keadaan lemas. Tangannya aja ditarik Hwall, ini mah diseret namanya bukan jalan. Hwall yang nemenin karena Yeji sibuk banget cekrak-cekrek sana-sini. Belum sampai ke pantainya banget, tapi langit udah keliatan mahakarya banget di mata Yeji.

"Pamer ah gue ke anak Indie," celetuk Yeji.

Kalau gak keliatan sama orang tua ini, ke-bar-bar-an mereka masih sering kelihatan. Emang dasarnya Yeji tuh udah paling enak manggil lo-gue sama orang-orang. Kalau Hwall mah, kan cowo jadi ya udah kebiasaan. Makanya sering kelepasan kalau di depan Papa-Mama.

Wonyoung, masih polos suci tidak terpengaruh.

"Emang arti senja bagi anak Indie apa sih. Aku bukan anak Indie tapi kalau ngelihat langit macam gini mah ya kagum lah," sahut Wonyoung.

Hwall menggeleng, "Senja yang ordinary juga perlu ditakjubkan gitu, kayaknya. Bagi mereka ya."

"Jaemin suka banget nih yang beginian," sahut Yeji. Anaknya sudah menjulurkan ponsel ke depan wajah, memotret langit aesthetic.

Seulgi datang, mengajak ketiga anaknya untuk makan terlebih dahulu.

"Nikmatin sunset nya sambil makan ya, kalian pada laper, kan?"

"Senja, Ma, senja," koreksi Wonyoung dengan kekehan di akhir kalimat. Sekarang ia sudah dirangkul oleh sang Kakak, saking seperti jelly-nya.

Mereka duduk tepat menghadap pantai, pemandangan yang disuguhkan tidak main-main. Begitupun hidangannya.

"Udah lama banget gak makan seafood sambil lihat pemandangan kayak gini," kata Wonyoung. Seulgi menelan makanannya lalu menatap ketiga anaknya. "Udah lama banget kan kita gak family time? Anak-anak Mama udah pada besar sekarang."

"Janji deh besok-besok sering-seringin quality time," balas Yeji, tangannya membentuk v line dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.

Hwall membalas dengan tatapan remehnya. "Apaan, bucin terus setiap hari."

Dibalas tak kalah tajam tatapan sang adik.

"Kayak Mas ngga aja. Antar-jemput Heejin tuh udah kayak supir," balas Yeji tidak terima. "Aku masih kecil aku diam," cicit Wonyoung.

"Kamu juga!" seru Yeji dan Hwall bersamaan. Tatapan sudah tertuju pada Wonyoung sepenuhnya. Seulgi cuma tertawa, melihat interaksi ini semua.

"Udah, udah. Kita semua bucin," final Seulgi. Lalu semua tertawa geli.

Seulgi juga sadar betapa bucin dirinya ke sang suami. Mungkin ini yang buat bucinnya menurun ke anak-anak. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

"Besok pagi Papa udah sampai, sekitar jam lima. Kita pergi ke acara habis makan siang ya, habis itu langsung ke bandara."

"Hah? Papa?!"

Semua kaget, mulut tiba-tiba berhenti mengunyah.

"Papa dateng? Ke Jogja?" tanya Hwall yang dibalas anggukan oleh Seulgi.

"Tiba-tiba banget ngasih taunya. Papa flight kapan, kok sampainya jam segitu?"

"Midnight, mungkin. Mama gak ngurusin ah, masih kesel."

"Bagus, bagus. Kali-kali dong Mama ngambek gini, aku liatnya malah gemes tau, Ma."

"Kok bisa jadinya ikut? Padahal Papa kalau soal kerjaan ga pandang bulu," monolog Hwall.

Yeji mengangguk setuju. "Mama akting nangis depan Papa ya? Biar Papa luluh wkwkwk."

Seulgi trigerred. "Hah, apaan. Nggaklah, Mama gak mungkin nangis-nangis depan Papamu. Dia gak ikut juga gak apa-apa." Tangannya dikibaskan.

HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang