32;

253 38 4
                                    

"Adik-adik aku laki-laki atau perempuan?" tanya Wonyoung penasaran.

"Adik kamu laki-laki," jawab Hwall datar.

"Laki-laki? Dua-duanya? Atau ada cewenya?"

Hwall menghembuskan nafas kasar, kini matanya sudah terpejam sempurna. Badannya bersender pada dinding dingin rumah sakit. "Mas? Kok ngehembus nafas? Jawab??" tuntut Yeji.

"Adik kamu cuma satu, Wonyoung," lirih Hwall tak kuasa. Kepalanya masih menunduk menatap lantai, tak berani menatap kedua adiknya yang kini memberikan tatapan tak percaya padanya.

"Maksud... Mas?"

"Adik kamu cuma satu, Mama cuma berhasil menjaga satu bayinya. Walaupun keduanya dilahirkan, tapi cuma satu yang berhasil Mama pertahankan," jelasnya pelan. Ia bergerak lesu duduk di kursi panjang yang berada di sebelahnya. Kedua tungkainya tak kuasa menahan bebannya kali ini.

"Mas? Serius? Jangan bercanda, Mas, Wonyoung masih kaget." Tapi yang didapat hanya keheningan, Hwall masih terdiam dengan tatapan kosongnya.

"Lo kalau jelasin yang serius, jangan bertele-tele dong yang jelas." Yeji mulai tersulut emosi.

"Gue serius, gue gak bercanda. Apa yang bisa gue bercandain di situasi kayak gini?" Nada bicaranya mulai meninggi.

"Gue gak ngerti... Mama melahirkan semalam, gue denger suara bayi. Gue nungguin disini selagi Papa nemenin Mama lahiran disana. Tapi gue gak ngerti... Papa bilang—Papa bilang kalau adik udah lahir, tapi... cuma satu yang berhasil selamat."

Wonyoung sudah menutup mulutnya dengan tangan, kelewat kaget. Sementara Yeji cuma bisa terdiam memegang bahu adiknya agar tak roboh. Hening beberapa saat sampai akhirnya suara tangisan Wonyoung menggema.

"Adik—adik aku... Hiks, adik aku..." Isakan Wonyoung mulai menggema di seluruh lorong.

Pertahanan Hwall runtuh saat mendengarnya. Lagi. Setelah ia menangis tengah malam, akhirnya ia menangis lagi sekarang. Di depan kedua adiknya yang mana membutuhkan dukungannya.

"Mba, adik aku... Adik aku Mba... Adik Wonyoung..." Wonyoung mulai meninggikan suara tangisannya. Meraung-raung tak terima pada keadaan. Yeji pun tak kuasa lagi terlihat kuat di hadapan saudaranya. Gadis itu ikut menangis dalam pelukan Wonyoung.

"Mba, adik Wonyoung... Mbaa..." Ia menangis sembari merajuk, tanpa lagi malu menunjukkan wajahnya yang penuh air tangis.

Hwall ikut menenggelamkan tubuhnya dalam pelukan. Mencoba menguatkan adik-adiknya yang kini tengah rapuh, begitu juga dengan dirinya. Ia harus kuat untuk menguatkan adiknya—ia berusaha.

Ketiga bersaudara itu hanyut dalam tangisan dan pelukan di tengah sepinya lorong rumah sakit.

Semenjak menyusui bayinya setelah sadar dari biusnya tadi, Seulgi jadi diam terus dengan matanya yang sayu. Mukanya terlihat lesu, pandangannya kosong dan tidak jelas mau mengungkapkan apa.

Saat ini Taeyong tengah memerhatikan wanita nomor satu di hidupnya itu dengan sedih. Dia sedih karena Seulgi harus ngelaluin ini. Sebenarnya gak cuma Seulgi doang, dia dan keluarga juga. Tapi ia lebih sedih karena harus lihat Seulgi sedih. Perempuan itu sempat nangis sebentar tadi lalu berakhir tidur karena mungkin dia juga lelah.

Sempat bangun dan keadannya sudah sedatar itu. Dia gak nangis ataupun marah, pokoknya dia gak mengekspresikan emosinya. Taeyong sigap nemenin di sampingnya selalu digenggam terus tangannya. Tapi Seulgi bener-bener diem aja gak respon apa-apa.

Taeyong jadi takut Seulgi kesambet. Bukan apa-apa, masalahnya kamar rawat Seulgi juga aja di pojok lorong.

Kepala yang asalnya menunduk itu langsung mendongak, menatap Seulgi penuh rasa bersalah. Taeyong gak main-main saat bilang minta maaf ke Seulgi. Mau sebaik apapun dia nge-treat Seulgi, tetep aja rasanya gagal karena harus berakhir seperti ini.

HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang