25;

277 33 1
                                    

Di siang hari, keenam remaja yang tengah menunggu gate dibuka, Yeonjun dan Yeji melipir berdua ke salah satu tempat makan tradisional di bandara. Tersisa keempatnya di bangku tunggu. "Sorry banget ya liburannya keganggu kemarin, jadi di hotel doang kan sisa waktu kemarin," sesal Heejin kepada tiga orang dihadapannya. Hwall santai-santai aja menatap pacarnya berbuat seperti itu, masih ada rasa bersalah juga sebenarnya.

"Gak apa-apa kali, Kak. Santai aja," balas Jisung. "Dari awal masuk juga udah lihat Kakak banjir keringet gitu aneh, tapi malah aku biarin aja, aku juga salah," sambungnya.

Heejin buru-buru membantah. "Nggak-nggak, kamu gak ada salah apa-apa kali hahaha."

"Yang penting Kak Heejin baikan aja dulu, gak enak juga jalan berempat doang. Lagian udah puas juga jalan-jalan terus kemarin," ucap Wonyoung. Heejin mengerutkan dahinya, "Berlima dong? Kan cuma aku yang sakit?"

"Mana mungkin Kak Heejin sakit, Mas Hwall gak ikutan sakit?" sahut Jisung sarkas sedikit. Tatapannya nyebelin banget ke Hwall sekarang. Heejin dan Wonyoung yang dengar cuma ketawa aja seneng banget. "Hahahah bener banget!"

"Gue gak ikutan sakit kali, kata-kata lo tuh terlalu hiperbola," balas Hwall.

"Seakan-akan Mas Hwall terlihat sebucin itu hahaha," kata Jisung sambil tertawa puas. "Tapi memang sebucin itu," setuju Wonyoung selaku adik dari Hwall—saksi terpercaya kebucinan Hwall.

"Gak inget kata Mama? Kita semua bucin—gila kali, sekeluarga ya Tuhan ...."

Meninggalkan keributan dari empat remaja itu, ada Yeonjun dan Yeji yang lagi memesan makanan di salah satu rumah makan di bandara. Ini telat, tapi emang Yeji baru kepengen gudegnya sekarang. Kalau Yeonjun sih udah makan dari hari pertama.

"Harganya jauh banget tau, Yang," ujar Yeonjun setelah melihat struk pembayarannya. Ia hanya memesan sepotong kue coklat yang ada di etalase untuk mengganjal lapar nanti.

"Emang kamu beli berapa kemarin?" tanya Yeji sebelum menyuap sendoknya.

"Nih, makan gudeg tuh paling bener pakai tangan tau," ucap Yeonjun sembari memeragakan maksudnya. "Gak sampai lima belas ribu, disini tiga puluh lima. Damage-nya besar sekalii."

Yeji acuh, anteng aja makan gudegnya. Sembari menemani pacarnya makan, Yeonjun cek-cek progress kerjaannya. Asik yang tahun ini bergelar Sarjana Hukum. Setelah menempuh Program Studi Ilmu Hukum selama kurang lebih empat tahun, Yeonjun sidang bulan kemarin. "Gimana progress revisi skripsinya? Dua minggu, kan?" tanya Yeji basa-basi.

Yeonjun mengangguk dahulu sebelum menjawab. "Iya sih dua minggu kata Pak Pengujinya, tapi aku tolak. Aku pilih waktu empat minggu jadinya, jaga-jaga aja biar gak ujian ulang."

"Hahaha, takut banget ujian ulang kayaknya," ledek Yeji.

"Ya siapa sih yang gak takut??? Lagian yang di revisi ada kali empat bab," balas Yeonjun. Yeji cuma iya-iya doang males membalas, lalu lanjut makan gudegnya sampai habis. Sementara Yeonjun lanjut fokus menuju layar ponselnya.

Lalu setelah gak lama saling sibuk sendiri Yeonjun pun nyeletuk.

"Yang." Yeji menoleh. "Kamu mau aku lamar kapan?"

"Hah ...."

Yeji t e r d i a m.

"Di rumah aja, aku yang jemput," ujar Taeyong dari seberang telepon. Seulgi yang mendengar hal itu hanya mengerutkan dahinya kesal. Yeri yang tengah berdiri tak jauh dari Seulgi pun langsung bertanya, "Kenapa, Bu?"

"Nggak—nggak ada apa-apa," jawab Seulgi.

"Kan kamu pulang jam lima, akulah yang jemput. Mana sempat kamu jemput, keburu telat," protesnya kepada Taeyong. Ponselnya diapit oleh bahu dan kepalanya, sedangkan tangannya tengah sibuk membuka bungkusan plastik.

HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang