35;

271 35 4
                                    

Pagi hari di suatu weekdays, Taeyong menyiapkan air hangat dan bak mandi kecil di kamar mandi dalam kamarnya. Ia dan Seulgi berniat memandikan David bersama, setelah sarapan tadi pagi. Seulgi yang meminta duluan, Taeyong senang dengarnya. Pasalnya Seulgi mulai membiasakan diri menjadi ibu dari seorang bayi lagi.

"Yuk yuk yuk, mandi yuk! Airnya hangatnya udah siap," serunya menghampiri sang bayi di pinggir ranjang. David hanya terbalut handuk kecil selepas dibukakan pakaiannya oleh Seulgi. Seulgi sudah bersiap menggendong David namun diinterupsi oleh sang suami. "Biar aku aja yang gendong, kamu yang bantu mandiin ya," ujar Taeyong lembut.

Keduanya berjalan memasuki kamar mandi. Sudah tersedia bak mandi kecil diatas sebuah meja—yang mana Taeyong siapkan tadi. Tangan Taeyong terulur membawa putranya ke dalam bak tersebut, membiarkan air hangat menyambut kulit sensitif bayinya.

"Uuuh, hangat ya, iya ya?" Taeyong berusaha interaktif dengan putranya.

"Mukanya dibasuh dulu ya," lanjut Seulgi sembari mengusap wajah anaknya penuh sayang. Dibasuh pelan membuat David terlihat nyaman walau sedikit kaget. "Iih segerrr, mandi dulu ya," ujar Taeyong.

Seulgi mulai mengusapkan busa sabun yang ada di tangannya ke tubuh David. Tubuhnya dibaluri sabun tipis-tipis tersebut. "Eit eit eit, tangannya jangan ke wajah, matanya jangan digosok-gosok, Sayang," peringat Taeyong.

HEEUHHHH gemas. Soft banget, gak kuat.

"Rambutnya dikasih shampo kan, Pa?"

"Iya, sedikit aja jangan banyak-banyak. Rambutnya masih tipis."

Setelah sepuluh menit berkutat dengan air dan sabun, bayinya pun dikeringkan masih dalam gendongan sang ayah. Persetan dengan baju basah, Taeyong senang bisa mengurus bayinya berdua sama Seulgi.

Tangan Seulgi walau masih ragu mulai menepuk-nepuk badan David dengan handuk. Tangannya masih was-was dengan tubuh sang bayi, taku kalau-kalau anaknya merasa gak nyaman nanti.

Di tengah kedamaian suasana itu, tiba-tiba terdengar dering telepon menggema. Seulgi tahu betul sumber suara tersebut dari lantai bawah, tepatnya telepon rumah. "Di bawah ada orang 'kan, Pa?" tanya Seulgi disela pekerjaannya.

"Ada Yeji kalau gak salah," santai Taeyong. Namun selang semenit dering tersebut masih tetap bergema. Alhasil Taeyong terpaksa turun, meninggalkan David dengan Seulgi. Membiarkannya mengurus David sendiri dengan sisa pekerjaan yang harus dilakukan.

"Kamu pakain bajunya sendiri ya? Aku turun dulu ke bawah, di ranjang aja jangan dibawa turun," pamitnya. Berlalu secepat mungkin. Kini tersisa Seulgi yang dengan cekatan berusaha mengurus bayinya. Walau masih ada rasa sedih setiap melihat wajah sang anak, ia paksakan untuk bisa bertahan.

"Huft..." desahnya tak kuat tiba-tiba.

Bayi yang baru menggunakan setengah pakaiannya itu mengulat kesana-kesini. Merasa risih karena pakaiannya tidak terpakai sempurna. "Jangan banyak gerak dong, Dek, susah ini pakai bajunya," keluh Seulgi. Yang akhirnya duduk di lantai meninggalkan sang anak yang masih belum selesai dengan bajunya.

Di lain tempat, Taeyong baru saja hendak mengangkat gagang telepon yang nyatanya kini sudah bersentuhan dengan daun telinga Yeji. "Heuhh kamu, daritadi bunyi gak diangkat," omel Taeyong.

"Psst psst, Pa. Dari Om Minhyun," bisik Yeji sedikit menjauhkan ujung telepon dari wajahnya. Taeyong mengerutkan dahi, "Hah masa? Kok gak ke Whatsapp Papa langsung," gumamnya.

"Nomor Papa berdering terus katanya," balas Yeji. Diberikannya telepon tersebut pada sang ayah, lalu berjalan ke arah dapur. Menata peralatan makanan yang sudah dicucinya lima belas menit lalu.

HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang