43;

229 32 0
                                    

Mulai minggu ini, Wonyoung disibukkan lagi dengan kegiatan latihan basket di sekolah setiap hari. Selasa depan juga ada sparing dengan sekolah swasta sebelah. Sedangkan dua minggu dari sekarang seleksi POPDA akan diselenggarakan lagi.

Wonyoung yang berniat ngumpulin kertas-kertas berharga itu selalu bilang ke pelatih informasiin terus pertandingan apapun, Wonyoung mau ikutan semua. Pelatihnya agak ketar-ketir Wonyoung ngomong begini udah bilang Papanya atau belum.

Dan mulai minggu ini juga, Seulgi intensif ke psikiater yang direkomendasiin Wendy. Prakteknya gak jauh kaya Wendy yang di kota Bogor sana—kali ini masih di Tangerang.

Pas dengar kalau ibunya bakal berobat dengan dokter yang sesuai, baik Hwall, Yeji, maupun Wonyoung seneng semua. Mereka bisa mulai lega karena sebentar lagi keadaan rumah akan balik seperti dulu. David bisa pulang ke rumahnya. Wonyoung bisa bantu ngurus adiknya. Yeji bisa pulang ke rumah tanpa harus ke rumah Eyangnya dulu. Begitu juga Hwall.

Walau ini masih bayang-bayang, tapi mereka yakin hal itu bakalan terjadi gak lama lagi. Setidaknya mulai ada titik terang.

"Mampir bakery sebentar ya di rumah rotinya habis, buat kamu ngeganjel laper nanti siang," ujar Seulgi kepada bungsunya yang tengah menali sepatu. Sementara Seulgi kini mereseleting backpack baby pink bermerk Adidas milik Wonyoung.

"Emang gak kelamaan, Ma? Wonyoung juga kan bisa beli makanan di mart."

"Kan sekalian lewat, Wonyoung. Lumayan hemat uang jajan."

"Okedeh," final Wonyoung. Taeyong datang dengan kemeja rapihnya, namun belum dibalut jas seperti biasa. Sembari memutar-mutar kunci mobilnya ia bersuara, "Yok!"

Wonyoung mendekatkan dirinya ke telinga sang ayah sebentar, lalu berbisik, "Pa, aku mau pulang ke rumah Eyang aja deh nanti. Papa bawain kebutuhan aku ke rumah Eyang bisa gak?"

"Nginep maksudnya?"

Wonyoung mengangguk mengiyakan. "Sampe Jum'at boleh gak, Pa?"

Taeyong memundurkan wajahnya. "Ngapain? Gak kejauhan nanti berangkat sekolahnya?"

Gadis tersebut menggeleng, membiarkan anak rambutnya bergoyang-goyang. "Ingin di rumah Eyang, Pa. Disini sepi gak ada Adek." Bibirnya mengerucut.

"Bilang Mama? Berani?"

Wonyoung merajuk. "Paaa."

"Justru rumahnya makin sepi kalau kamu pergi, gak kasian sama Mama kamu?"

Gadis Lee itu menunduk pertanda kecewa. Dia bahkan tidak memikirkan Mamanya saking tidak merasa nyaman di rumah.

Taeyong bergerak mengelus rambut anaknya. "Kalau Kakak mau, Papa yang bilangin ke Mama nanti. Papa tau suasana rumah lagi gak kondusif sedangkan kamu lagi sibuk, Mama pasti ngerti kok," ucapnya tenang.

Sontak kepala di hadapannya itu mendongak. "Serius?"

Taeyong mengangguk. "Okeee makasih, Papa." Kini lengan putrinya sudah mengelilingi tubuhnya dengan erat. Taeyong senyum-senyum. "Iya, sama-sama. Yuk berangkat."

Di lain tempat, Hwall sama Yeji lagi ngobrol. Di balkon depan lebih tepatnya. "Udah tanya ke Papa gimana konsultasinya?" Hwall bersuara. Keduanya tengah melihat ke depan, dimana barisan rumah berjajar menjadi pemandangannya. Tanpa bergerak dari posisinya Yeji menggeleng. Hwall melirik.

Angin pagi yang sejuk berhembus ke arah mereka. Sepertinya langit tengah sehati dengan perasaan mereka. Suasana saat itu terasa sangat redup. Langit Tangerang memang jarang berwarna biru, sebab polusi dari berbagai kendaraanlah salah satunya. Tapi dapat Yeji lihat jelas seharian ini pasti tak akan ada matahari terik muncul. Begitu juga dengan hujan. Jujur, Yeji lebih suka cuaca seperti ini.

HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang