Hari Paling Menyedihkan

311 87 18
                                    

Pagi itu semiliri angin menerbangkan beberapa helai daun yang berguguran, kicauan burung tidak lagi terdengar indah.

Suram.

Setidaknya itulah yang Alfa rasakan saat ini. Sudah lebih dari setengah jam ia membisu di samping makam bundanya. Para peziarah sudah pulang sejak tadi, kecuali Osi.

Entah apa yang membuat gadis itu masih setia menemani Alfa yang tidak bergeming sejak tadi.

Mungkin karna Osi tau bahwa saat ini pasti Alfa sangat sedih sekali, meskipun sejak semalam matanya tidak menitikan air mata setetes pun, sejak dokter Sean memberitahunya bahwa Bu Zara tidak bisa di selamatkan.

Osi tahu bagaimana rasanya, ditinggalkan oleh orang yang paling kita sayangi di dunia ini. Sangat menyedihkan.

"Alfa..." gumam Osi akhirnya. "Udah hampir satu jam, mau berapa lama lagi disini?"

"Lo pulang aja, gue gak minta di temenin kok!"

"Alfa, gue tau ---" belum sempat Osi melanjutkan, Alfa sudah lebih dulu memotong ucapannya.

"Gak! Lo gak tau, jadi lebih baik lo pulang aja! Gue gak butuh siapa-siapa disini!"

"Gak masalah lo mau disini sampe besok pun" Osi tersenyum sendu, menatap Alfa yang terpaku pada batu nisan bertuliskan nama bundanya. "Gue tau ini semua pasti berat untuk lo, sebab itu gue disini"

Alfa kembali hanyut dalam keheningan, ia tidak menggubris ucapan Osi.

"10 tahun yang lalu, gue pernah merasakan apa yang lo rasakan sekarang. Rasanya memang sangat berat. Mereka pergi ninggalin gue, bahkan dengan cara yang sangat tragis, sampe sekarang gue masih gak percaya bahwa hal-hal mengerikan seperti itu terjadi dalam hidup gue." Osi mencoba untuk tidak menangis saat mengingat kejadian saat itu. Dimana kedua orang tuanya pergi meninggalkan ia selamanya.

"Saat itu, gue dan Alden sangat sedih dan terpukul, dan yang lebih buruknya, kita gak punya siapa-siapa untuk sekedar memberi kita pelukan, atau ucapan 'kita akan baik-baik aja setelah ini' rasanya bener-bener menyedihkan. Makanya gue gak mau lo merasa seperti itu Alfa, gue pengen lo tau kalo gue selalu ada disini ketika lo butuh bercerita"

Sejenak Alfa merasa terenyuh dengan ucapan Osi, kini ia menatap gadis di sebelahnya.

"Osi..maaf--"

Buru-buru Osi menggeleng, sebelum Alfa lanjut bicara.

"Gue yang minta maaf, gue terlalu menghakimi perasaan lo."

"Osi, gue boleh meluk lo ga?"

Osi tersenyum lalu merentangkan tangannya.

Alfa membenamkan wajahnya pada pundak Osi. Berharap ia akan merasa sedikit lebih tenang.

"Alfa.. its ok to cry. Nangis aja kalo emang lo mau nangis. Jangan di tahan."

Memang sejak dokter Sean memberi tahu bahwa Bu Zara tidak dapat di selamatkan, Alfa tidak menangis sama sekali, bahkan sampai detik ini, tidak ada satu tetes pun air mata yang keluar dari matanya.

"Gue pengen, tapi gue takut. Itu hanya membuat gue terlihat sangat menyedihkan"

"Ada beberapa hal yang memang wajar untuk kita tangisi, dan menangis karna kehilangan orang tua gak sama sekali membuat lo terlihat seperti pecundang. Lo manusia, manusia merasa sedih itu normal"

Setelah Osi mengatakan hal itu, Alfa tidak mampu lagi membendung air matanya. Sejujurnya ia sangat ingin sekali menangis sejak semalam, terlebih mengingat betapa tega nya Sadev yang tidak mengizinkan ia meminjam mobilnya, ia jadi berandai-andai jika saja ia tidak telat membawa bundanya kerumah sakit, apakah saat ini ia masih bisa melihatnya?

HELLEAVEN [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang